Kedudukan Palestina dan Baitul Maqdis Perpektif Islam: Analisis Peringatan akan Permusuhan Abadi Yahudi Israel Vs Strategi Kemenangan dan Peran Umat Islam di Akhir Zaman
A. Palestina Negeri Pilihan, Tanah Milik Kaum Muslimin bukan Tanah Yahudi
Inilah tanah pilihan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan keberkahan tanah Palestina, tanah yang juga termasuk bagian dari Syam. Keberkahannya ini dapat dirunut, misalnya Syam menjadi tempat hijrah Nabi Ibrahim Alaihissalam, tempat singgah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika menjalankan Isra dan Mi’raj, tempat dakwah para Nabi. Dakwah yang membawa misi Agama Tauhid. Dan juga lantaran keberadaan Masjidil Aqsha di tanah Palestina yang penuh berkah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Terjemahnya:
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. al-Israa/17: 1]
Selain memuliakan tanah Palestina, Allah juga memilih Mekkah dan Madinah. Begitulah Allah telah mengistimewakan wilayah Syam, dan Masjidil Aqsha. Dan Allah memilih Nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan menjadikannya sebagai khatamul anbiya wal mursalin (penutup para nabi dan rasul terbaik). [Barakatu Ardhisy-Syam, Dr Abu Anas Muhammad bin Musa Alu Nashr, Majalah Manarusy-Syam, edisi Jumadal Ula 1425H]
Bilamana Keberadaan Bani Israil di Bumi Palestina?
Masa Nabi Ya’qub dan Nabi Yusuf ‘Alaihima As-Salam
Sejarah Yahudi bermula sejak Israil, yaitu Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim Al-Khalil, yang tumbuh di daerah Kan’an (Palestina) dengan dikarunia sejumlah 12 anak. Mereka itulah yang disebut asbath (suku) Bani Israil, dan hidup secara badawah (pedesaan gurun). [Lihat QS. Yusuf/12: 100]
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan Nabi Yusuf sebagai pejabat penting di Mesir, kemudian meminta kedua orang tua dan saudara-saudaranya untuk berpindah ke Mesir. Di Mesir, keluarga ini hidup di tengah masyarakat watsaniyyun (paganisme). Mereka hidup dengan kehidupan yang baik lagi nikmat di masa Nabi Yusuf. [Kisah tersebut termuat dalam Surat Yusuf]
Setelah Nabi Yusuf wafat, seiring dengan perjalanan waktu dan pergantian penguasa, kondisi Bani Israil berubah total. Yang sebelumnya menyandang kehormatan dan kemuliaan, kemudian menjadi terhina, lantaran Fir’aun melakukan penindasan dan memperbudak mereka dalam jangka waktu yang amat lama, sampai Allah Ta’ala mengutus Nabi Musa Alaihissalam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ ۚ وَفِي ذَٰلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ
Terjemahnya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya, mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabb-mu” [QS. al-Baqarah/2: 49]
Dalam ayat lain,
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka …” [QS. al-Qashash/28: 4]
Masa Nabi Musa Alaihissalam
Allah mengutus Nabi Musa dan Harun kepada Fir’aun dan kaumnya, dengan dibekali mukjizat, untuk menyeru mereka agar beriman kepada Allah dan membebaskan Bani Israil dari siksaan. Namun Fir’aun dan kaumnya mendustakan mereka berdua, kufur kepada Allah. Karenanya, Allah menimpakan kepada mereka berbagai bencana, kekeringan, rusaknya pertanian, mengirim angin kencang, belalang dan lain-lain [Lihat QS. al-A’raaf/7: 133].
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Musa untuk lari bersama Bani Israil pada suatu malam dari negeri Mesir [Lihat QS. asy-Syu’ara/26: 52-66].
Fir’aun dan kaumnya pun mengejar. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala menenggelamkan Fir’aun beserta kaumnya, dan menyelematkan Musa dan kaumnya ke Negeri Saina, masuk dalam wilayah Palestina sekarang. Peristiwa itu terjadi pada hari Asyura.
[Dari Ibnu Abbas, ia berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, saat kaum Yahudi berpuasa hari Asyura. Beliau bersabda. Hari apakah ini yang kalian berpuasa padanya? Mereka menjawab: Ini hari kemenangan Musa atas Fir’aun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: Kalian lebih pantas menghormati Musa daripada mereka, maka berpuasalah”. [HR. Bukhari dan Muslim. Dinukil dari Shahih Qashashil Anbiyaa, h. 310]
Orang-orang Yahudi menyebutkan, lama Bani Israil tinggal di Mesir 430 tahun. Jumlah mereka waktu itu sekitar 600 ribu orang lelaki.
Mengenai besaran jumlah ini. Dr Su’ud bin Abdul Aziz Al-Khalaf berkata [Dirasatun Fil Adyan Al-Yahudiyah wa Nashraniyah, h. 49] : “Pengakuan ini sangat berlebihan. Karena berarti, bila ditambah dengan jumlah anak-anak dan kaum wanita, maka akan mencapai kisaran 2 juta-an jiwa. Tidak mungkin dapat dipercaya. Itu berarti jumlah mereka mengalami pertumbuhan 30 ribu kali. Sebab sewaktu Bani Israil masuk ke Mesir, berjumlah 70 jiwa. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS. asy-Syu’ara/26: 54,
إِنَّ هَٰؤُلَاءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ
Terjemahnya:
“(Fir’aun berkata) ; ‘Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan yang kecil”
Jumlah 2 juta tidak bisa dikatakan kecil. Mustahil dalam satu malam terjadi eksodus dua juta jiwa. Kita tahu di dalamnya terdapat anak-anak dan kaum wanita serta orang-orang tua.
Orang-orang yang bersama Nabi Musa, mereka adalah orang-orang dari Bani Israil yang mengalami penindasan dan kehinaan serta menuhankan manusia dalam jangka waktu yang lama. Aqidah mereka telah rusak, jiwanya membusuk, mentalnya melemah, dan muncul pada mereka tanda-tanda pengingkaran, kemalasan, pesimis, serta bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. [Mujaz Tarikhil Yahudi, Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyah, h. 248]
Meski Allah telah menunjukkan banyak mukjizat dan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui Nabi Musa, tetapi mereka tetap ingkar, sombong dan tetap kufur. Mereka justru meminta untuk dibuatkan berhala sebagai tuhan yang disembah. Hingga akhirnya, As-Samiri berhasil menghasut mereka untuk menyembah anak sapi, menolak memerangi kaum yang bengis (Jababirah). Maka, Allah menimpakan hukuman kepada mereka berupa Tiih (berjalan berputar-putar tanpa arah karena kebingungan) dalam jangka waktu yang dikehendaki Allah. Pada rentang waktu ini, Nabi Musa wafat. Sementara Harun sudah meninggal terlebih dahulu.
Setelah usai ketetapan waktu yang Allah kehendaki untuk menghukum mereka dengan kebingungan tanpa mengetahui arah, Bani Israil berhasil menaklukan bumi yang suci di bawah pimpinan Nabi Yusya bin Nun Alaihissalam [Nabi Yusya bin Nun Alalihissalam dalah salah seorang dari Nabi yang diutus kepada Bani Israil. Dalil yang menunjukkan kenabiannya, yaitu hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi bersabda: “Matahari tidak pernah tertunda perjalanannya karena seseorang, kecuali bagi Yusya bin Nun, (ketika) pada malam hari ia menuju Baitul Maqdis: [HR. Ahmad, 2/325].
Ibnu Katsir berkata: Sanadnya sesuai dengan syarat Bukhari. Lihat Al-Bidayah, 1/333. Dan hadits ini dishahihkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath, 2/221. Di riwayat lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: Ada seorang nabi dari kalangan para nabi yang berperang, (ia) berkata kepada kaumnya … kemudian ia berkata kepada matahari, ‘Sesungguhnya engkau diperintah, dan aku pun juga diperintah, Ya Allah, hentikanlah ia, maka matahari itu pun berhenti, sampai akhirnya Allah membuka kota tersebut lantaran mereka” [HR. Bukhari, Lihat Al-Fath, 6/220].
Para ahli, membagi perjalanan sejarah kota suci Palestina pasca penaklukan tersebut menjadi tiga periode:
1. Masa Qudhah, Yaitu masa penunjukkan hakim bagi setiap suku yang berjumlah dua belas, setelah masing-masing mendapatkan wilayah sesuai pembagian Nabi Yusya bin Nun. Masa ini, kurang lebih berlangsung selama 400 tahun lamanya. [Dirasatun Fil Adyan, h. 53]
2. Dikenal dengan masa raja-raja. Diawali oleh Raja Thalut. Kondisi masyarakat mengalami masa keemasan saat dipegang oleh Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
3. Periode yang disebut sebagai masa perpecahan internal, yaitu setelah Nabi Sulaiman wafat. Mereka terbelah menjadi dua kutub. Bagian selatan dengan ibukota Baitul Maqdis dan wilayah utara dengan ibukota Nablus.
Dua wilayah ini, akhirnya dikuasai bangsa asing. Wilayah selatan ditaklukan oleh bangsa Assiria dari Irak. Wilayah utara diserbu Mesir. Disusul kedatangan Nebukadnezar, yang mampu mengusir bangsa Mesir dari sana. Pergantian kekuasaan ini, akhirnya dipegang bangsa Romawi yang berhasil mengalahkan bangsa Yunani, penguasa sebelumnya.
Pada masa kekuasaan Romawi inilah, Nabi Isa Al-Masih diutus oleh Allah Ta’ala. Pada masa itu pula, musibah dahsyat dialami kaum Yahudi. Bangsa Romawi melakukan genocide (pemusnahan) secara keras etnis mereka, lantaran orang-orang Yahudi melakukan pemberontakan. Baitul Maqdis pun dihancurkan. Bangsa Yahudi tercerai-berai. Sebagian melarikan diri ke seluruh penjuru wilayah bumi. Demikianlah hukuman Allah dengan mendatangkan bangsa yang menindas mereka. Siksaan dan kepedihan ditimpakan kepada mereka, atas kerusakan, tindak aniaya dan akibat akhlak mereka yang buruk. [Lihat QS. al-A’raaf/7: 167]
Bangsa Romawi menguasai tanah Baitul Maqdis hingga beberapa lama, hingga kemudian pada abad pertama hijriyah, pada masa khalifah Umar Ibnu Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, kaum Muslimin berhasil mengambil alih penguasaan tanah penuh berkah ini dari tangan bangsa Romawi yang memeluk agama Nashrani, meliputi Palestina, Syam, dan daerah yang ada di dalamnya. Tepatnya pada pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, pada bulan Rajab tahun 16H, sehingga menjadi Darul Islam. Penyerahan Baitul Maqdis ini terjadi, setelah pasukan Romawi disana dikepung oleh pasukan kaum Muslimin selama empat puluh hari di bawah komando Abu Ubaidah Ibnul Jarrah Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Khalifah Umar Ibnul Khaththab menetapkan orang-orang Yahudi tidak boleh tinggal di Baitul Maqdis.
Klaim Palsu Yahudi atas Tanah Palestina
Merasa nenek moyangnya pernah berdiam disana, menyebabkan kaum Yahudi membuat klaim jika mereka memiliki hak atas tanah Palestina. Alasan yang dikemukakan, karena mereka telah mendiaminya sejak Nabi Ibrahim dan berakhir ketika orang-orang Yahudi generasi akhir diusir dari Baitul Maqdis pada masa Romawi.
Mereka pun mengklaim hak kepemilikan tersebut juga berdasarkan tinjauan agama. Yaitu mengacu kepada kitab suci mereka, bahwa Allah telah menjanjikan kepemilikan tanah Kan’an (Palestina) dan wilayah sekitarnya, dari sungai Nil di Mesir sampai sungai Eufrat di Irak. Janji tersebut disampaikan Allah kepada Ibrahim. Begitulah bangsa Yahudi yang hidup pada masa sekarang mengklaim sebagai keturunan Ibrahim, bangsa terpilih. Sehingga merasa paling berhak dengan Palestina dan sekitarnya, yang disebut-sebut sebagai ardhul mi’ad (tanah yang dijanjikan).
Karenanya, muncul upaya untuk menghimpun kaum Yahudi yang tersebar di berbagai wilayah, bertujuan mendirikan sebuah negara Israil Raya, Napoleon Bonaparte, seorang raja Perancis telah memfasilitasi tujuan tersebut. Caranya, pada tahun 1799M, dia mengajak Yahudi dari Asia dan Afrika untuk bergabung dengan pasukannya. Namun akibat kekalahan dideritanya, menyebabkan rencana tersebut tidak terwujud.
Wacana ini kembali muncul, dengan terbitnya buku Negara Yahudi, yang ditulis pemimpin mereka, Theodare Heartzel pada tahun 1896M. Orang-orang Yahudi melakukan kajian secara jeli tentang kondisi negara-negara penjajah. Hingga sampai pada kesimpulan, bahwa Inggris merupakan negara yang paling tepat untuk membantu merealisasikan rencana tersebut.
Ringkasnya, setelah melalui lobi-lobi, maka pada tahun 1917M, Inggris yang menjajah kebanyakan negara Arab, memberikan tanah hunian bagi Yahudi di Palestina. Penguasa Inggris melindungi mereka dari kemarahan kaum Muslimin. Di sisi lain, penjajah Inggris bersikap sangat keras terhadap kaum Muslimin di sana.
Kepalsuan Pengakuan Yahudi
Sebelum Bani Israil masuk ke wilayah tersebut, tanah Palestina telah didiami dan dikuasai suku-suku Arab. Kabilah Finiqiyyin, menempati wilayah utara kurang lebih pada tahun 3000SM. Kabilah Kan’aniyyun, menempati bagian selatan dari tempat yang dihuni orang-orang Finiqiyyin. Mereka menempati wilayah tengah pada tahun 2500SM. Inilah suku-suku bangsa Arab yang berhijrah dari Jazirah Arabiyah. Kemudian datang kelompok lain, kurang lebih pada tahu 1200SM, yang kemudian dikenal dengan Kabilah Falestin. Menempati wilayah antara Ghaza dan Yafa. Hingga akhirnya nama ini menjadi sebutan bagi seluruh wilayah tersebut. dan ketiga suku ini terus mendiaminya.
Secara historis, telah jelas Bani Israil bukanlah bangsa yang pertama menempati Palestina. Daerah itu, sudah dihuni oleh suku-suku Arab sejak beribu-ribu tahun lamanya, sebelum kedatangan Bani Israil. Bahkan keberadaan suku Arab tersebut terus berlangsung sampai sekarang.
Adapun Bani Israil, pertama kali masuk Palestina, yaitu saat bersama Yusya bin Nun, setelah wafatnya Nabi Musa Alaihissalam. Sebelumnya mereka dalam kebingungan, terusir, tak memiliki tempat tinggal, karena melakukan pembangkangan terhadap perintah Allah. Dikisahkan dalam Al-Qur’an,
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ﴿٢٠﴾يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
Terjemahnya:
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: ”Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi”. [QS. al-Maidah/5: 20-21]
Akan tetapi, mereka adalah bangsa pengecut yang dihinggapi rasa takut sikap pengecut ini terlihat jelas dari jawaban mereka terhadap ajakan Nabi Musa. Kelanjutan ayat di atas menyebutkan,
قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّىٰ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ
Terjemahnya:
“Mereka berkata: ”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya”.
Lanjutan ayat tersebut,
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Terjemahnya:
“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya, nisacaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
Lanjutan ayat tersebut kemudian,
قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا ۖ فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
Terjemahnya:
“Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinyua selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabb-mu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.
Lanjutan ayat tersebut,
قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي ۖ فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
Terjemahnya:
“Berkata Musa: “Ya Rabb-ku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”.
Lanjutan ayat tersebut kemudian,
قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ ۛ أَرْبَعِينَ سَنَةً ۛ يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ ۚ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
Terjemahnya:
“Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu” [QS. al-Maidah/5: 22-26]
Dengan terusirnya dari tanah yang diberkahi ini, bagaimana mungkin mereka mengaku memiliki hak atas tanah ini? Sementara itu, pengembaraan ke berbagai penjuru bumi, karena terusir di mana-mana menimbulkan konsekwensi bagi mereka berinteraksi, dan beranak-pinak dengan bangsa lainnya. Sehingga terputuslah nasab mereka dengan nenek moyangnya.
Jelaslah, generasi Yahudi pada masa sekarang ini bukan keturunan Bani Israil sebagaimana yang mereka katakan (klaim dusta). Meski demikian, mereka berupaya keras menyebarluaskan klaim palsu ini, bahwa mereka keturunan orang-orang Bani Israil generasi pertama yang menghuni Palestina dahulu. Tujuan propaganda ini, agar kaum Nashara menilai mereka sebagai keturunan Nabi Ya’qub. Sehingga muncul opini, bahwa merekalah yang dimaksud oleh janji sebagaimana tersebut dalam Pejanjian Lama. Dengan ini mereka berharap Nashara merasa memiliki ikatan emosional, dan kemudian membela mereka. Sebab Nashara mengagungkan Taurat (Perjanjian Lama) dan menganggapnya sebagai wahyu dari Allah.
Akan tetapi, fakta menujukkan, jika klaim mereka adalah dusta. Mereka mengaku akar keturunannya masih murni, bersambung sampai ke Israil (Ya’qub). Padahal, mereka sendiri telah mengakui, banyak di antara orang-orang Yahudi yang menikahi wanita non-Yahudi. Demikian juga, kaum wanitanya pun menikah dengan lelaki non-Yahudi.
Sebagai contoh bukti lainnya, sebuah suku yang besar di Rusia , Khazar telah memeluk Yahudi pada abad ke-8 Masehi. Kerajaan ini begitu kuatnya. Kemudian mengalami kehancuran total setelah diserang Rusia. Sejak abad ke-13 Masehi, wilayah ini terhapus dari peta Eropa. Penduduknya bercerai berai di Eropa Barat dan Timur. Ini merupakan salah satu indikasi yang jelas, bahwa mereka tidak mempunyai ikatan dengan Ya’qub dan keturunannya.
Kalaupun mereka tetap bersikeras mengaku sebagai keturunan Ya’qub, akan tetapi sebagai kaum Muslimin, kita tidak merubah sikap, selama mereka memusuhi kaum Muslimin. Sebab, nasab tidak ada artinya, bila masih berkutat dalam kekufuran. [Dirasatun Fil Ad-yan, h. 66-67]
Yahudi Bukan Keturunan Ibrahim
Pengakuan mereka sebagai keturunan Ibrahim Alaihissalam, merupakan klaim yang batil, ditinjau dari beberapa aspek berikut:
1. Batilnya klaim mereka sebagai keturunan Bani Israil, secara jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan di dalam Al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ ۗ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Terjemahnya:
“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nashrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nashrani. Katakanlah : “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya”, Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan”. [QS. al-Baqarah/2: 140]
2. Kitab suci mereka tidak lagi orsinil dan sudah terjadi perubahan. Mereka telah melakukan perbuatan tercela terhadap kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi Bani Israil, dengan melakukan tahrif (mengubah), memalsukan dan memanipulasi. Al-Qur’an telah mengabadikan perbuatan mereka tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً ۖ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ
Terjemahnya:
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya. Kami kutuk mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membantu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya …”[QS. al-Maidah/5: 13]
3. Klaim kepemilikan tanah yang penuh berkah ini oleh Yahudi, berkaitan dengan janji Allah kepada Ibrahim, hakikatnya janji tersebut telah diwujudkan yaitu saat pertama kali Ibrahim Alaihissalam menginjakkan kaki di wilayah suku Kan’an.
Sekilas, mengacu kepada kitab mereka yang kini disebut Kitab Perjanjian Lama, kita akan mengetahui, jika janji Allah tersebut menjadi hak Isma’il, nenek moyang bangsa Arab dan kaum Muslimin. Pada waktu itu Nabi Ibrahim Alaihissalam belum dikaruniai anak (Kejadian: 12/7). Kemudian janji ini terulang kembali saat beliau kembali ke Mesir (Kejadian: 13/15). Janji ini pun terulang kembali bagi Ibrahim, tetapi beliau belum dikaruniai anak (Kejadian: 15/18). Berikutnya, janji itu pun terulang lagi, saat Ibrahim dikaruniai anaknya, yaitu Ismail (Kejadian: 17/8). Sedangkan putra kedua Ibrahim Alaihissalam, yaitu Ishaq, pada saat janji itu ditetapkan ia belum dilahirkan.
4. Kalaupun mereka menyanggah, bahwa janji Allah tentang kepemilikan tanah Palestina merupakan warisan dan hunian abadi bagi mereka, yang menurut mereka didukung oleh Al-Qur’an –QS. Al-Maidah/5: 21, “Hai kaumku, masuklah ke tanah suci yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi”. Maka jawabnya adalah : Ungkapan janji yang ada dalam ayat tersebut tidak berbentuk abadi, tetapi khusus bagi zaman yang mereka dijanjikan mendapatkannya, sebagai balasan atas sambutan mereka kepada perintah-perintah Allah dan kesabaran mereka. Sedangkan orang-orang Yahudi pada masa ini, mereka bukan Bani Israil –sebagaimana sudah dipaparkan-. Dan ayat ini tidak menyangkut yang bukan Bani Israil, meski kaum Yahudi pada saat ini mayoritas. Sungguh, kebenaran dalam masalah ini yang menjadi pegangan jumhur ulama tafsir.
Balasan keimanan dan keistimewaan yang mereka raih atas umat zaman mereka ini merupakan ketetapan Allah bagi hamba-hambaNya. Allah berfirman,
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Terjemahnya:
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai oleh hamba-hambaKu yang shalih”. [QS. al-Anbiya/21: 105]
Begitu juga setelah mereka menyimpang dari agama Allah dan melakukan kerusakan di bumi, maka Bani Israil tidak lagi memiliki hak dengan janji tersebut. Justru balasan bagi mereka, sebagaimana terkandung dalam ayat, yaitu mereka mendapat laknat, kemurkaan dan hukuman dari Allah. Mereka tercerai berai di bumi, dikuasai oleh orang-orang yang menimpakan siksaan kepada mereka sampai hari Kiamat, dirundung kehinaan dimanapun mereka berada. Ini semua sebagai hukuman atas kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah.
Sebuah fakta yang ironis. Ketika Allah memerintahkan Bani Israil untuk memasuki tanah yang dijanjikan, ternyata mereka enggan dan membangkang. Maka Allah menghalangi mereka darinya. Tatkala mereka menyambut perintah, maka Allah memberikannya kepada mereka.
Oleh karena itu, Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yang Allah janjikan kepada kalian melalui lisan ayah kalian, Israil ia mewariskannya kepada orang yang beriman dari kalian. [Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 3/75]
Berdasarkan ini, tanah tersebut milik mereka ketika mereka beriman. Tetapi, karena mereka kufur kepada Allah dan para Nabi-Nya, dan Allah telah menetapkan murka dan laknat-Nya kepada mereka, maka mereka sama sekali tidak mempunyai hak atas tanah suci itu.
5. Bisa juga dikatakan, janji itu sudah terwujud pada masa Nabi Musa, yaitu tatkala Bani Israil memasuki tanah suci dengan dipimpin oleh Nabi Yusya bin Nun, kemudian menempatinya pada masa Nabi Dawud dan Sulaiman. Sebuah masa ketika Allah menganugerahkan kepada mereka keutamaan atas manusia seluruhnya. Namun, ketika mereka kufur kepada Allah dan melakukan kerusakan di bumi, maka kemurkaan Allah pun berlaku pada mereka, dan terjadilah bencana menimpa mereka.
6. Janji Allah memiliki syarat, yaitu iman dan amalan shalih, sebagaimana juga termuat dalam Taurat. Sedangkan mereka telah berbuat kufur dan murtad, beribadah kepada selain Allah. Oleh karena itu, musibah, bencana dan kemurkaan dari Allah ditimpakan kepada mereka. Dan semua ini termuat dalam kitab-kitab suci mereka. Bahkan dalam kitab mereka, terdapat keterangan yang melarang memasuki Baitul Maqdis, lantaran kekufuran, kesesatan dan kemaksiatan mereka.
Dengan pengingkaran ini, maka janji tersebut tidak terwujudkan. Sebaiknya, siksa dan bencanalah yang mereka dapatkan. Bumi ini milik Allah, diwariskan kepada hamba-hambaNya yang Menegakkan agama dan mengikuti ajaran-ajaranNya, bukan diwariskan kepada orang-orang yang melakukan kerusakan di bumi. Allah berfirman,
قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا ۖ إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
Terjemahnya:
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”. [QS. al-A’raf/7: 128]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Terjemahnya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. [QS. an-Nur/24: 55]
Menjelaskan ayat ini Ibnu Katsir berkata: Ini janji dari Allah bagi RasulNya, akan menjadikan umatnya sebagai pewaris bumi. Maksudnya, tokoh-tokoh panutan dan penguasa mereka. Negeri-negeri menjadi baik dengan mereka, dan orang-orang tunduk kepada mereka… Allah Subhanahu wa Ta’la telah mewujudkannya walillahilhamdu walminnah. Nabi tidaklah wafat, melainkan Allah telah membuka penaklukkan Mekah, Khaibar, seluruh Jazirah Arab, wilayah Yaman seluruhnya. Memberlakukan jizyah kepada Majusi dari daerah Hajr, dan sebagian wilayah Syam.
Kemudian, ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar mengirimkan pasukan Islam ke Persia di bawah komando Khalid bin Al-Walid dan berhasil menaklukkan sebagian wilayahnya. Juga mengirim pasukan lain pimpinan Abu Ubaidah menuju Syam.
Allah juga memberikan karunia kepada kaum Muslimin. Yaitu mengilhamkan kepada Abu Bakar untuk memilih Umar Al-Faruq untuk menggantikan kedudukannya. Dan Umar pun melaksanakan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Pada masa kekuasannya, seluruh wilayah Syam berhasil dikuasai. [Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 3/304 secara ringkas].
Kaum Muslimin, mereka itulah yang dimaksud dengan ayat-ayat tersebut. Bila membenarkan janji yang mereka ikat dengan Allah, kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, berpegang teguh dengan Islam secara sempurna, baik individu, keluarga, masyarakat atau negara, maka sungguh janji Allah benar adanya. Dan siapakah yang berhak atas tanah yang penuh berkah itu? Tidak lain mereka adalah kaum Muslimin.
B. Kedudukan Baitul Maqdis Palestina dalam Islam
Al-Qur`an dalam banyak ayatnya menggambarkan Baitul Maqdis dan Masjidnya dengan barakah, yaitu berupa kebaikan-kebaikan yang selalu bertambah. Allah Azza wa Jalla berfirman,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
Terjemahnya:
Maha suci Allah Azza wa Jalla yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami barakahi sekelilingnya. [QS. al-Isra`/17: 1]
Masjidil Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di muka bumi. Disebutkan dalam shahîhaini bahwa Abu Dzar Radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “ Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama kali diletakkan di bumi? Nabi menjawab: al-Masjidil Haram, aku bertanya lagi. Kemudian apa? Nabi menjawab: al Masjidil Aqsha. Aku bertanya. Berapakah jarak antara keduanya? Nabi menjawab 40 tahun. Kemudian di manapun kalian mendapati waktu shalat, maka shalatlah sesungguhnya ada keutamaan di dalamnya.
Baitul Maqdis tidak akan dimasuki oleh Dajjâl. Diriwayatkan Junâdah Bin Abi Umayyah, dia berkata: kami mendatangi seseorang Anshâr (Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kami menemuinya dan bertanya: “Ceritakan kepada kami apa yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Kemudian dia menyebutkan hadits tersebut. Di dalamnya ada kalimat ‘ tandanya dia akan tinggal di bumi selama 40 hari. Ia akan menguasai segala penjuru dan ia tidak akan mendatangi empat masjid, yaitu Ka`bah, Masjid Nabi, Masjid Aqsha dan at Thur.’ [HR. Ahmad dan rijalnya Tsiqat] ”
Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata: “Ketika bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami bertanya: ‘Manakah yang lebih afdhal, Masjid Rasul “ Nabawi” atau Baitul Maqdis? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Shalat di Masjidku ini lebih afdhal daripada shalat empat shalat di Baitul Maqdis. Dan hampir saja ada seseorang yang memiliki tanah sepanjang tali kudanya. Dia melihat Baitul Maqdis dari tempat itu adalah lebih baik baginya daripada dunia semuanya atau ia berkata lebih baik dari dunia dan seisinya. [HR. Hakim dan dishahihkan oleh adz Dhahabi]
Dalam musnad Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak diperbolehkan mengadakan perjalanan dalam rangka beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali pada tiga masjid, yaitu Masjidku (Nabawi), Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hubungan antara masjid-masjid ini serta disyariatkan melakukan perjalanan ke sana dalam rangka beribadah, karena semuanya adalah masjid-masjid kaum muslimin, walaupun kampung halaman dan warna kulit mereka berbeda. Maka, diperbolehkan bagi muslim manapun yang ingin mengadakan perjalanan pada salah satu masjid ini. ”Allah Azza wa Jalla melarang safar ke semua tempat, baik masjid maupun lainya dengan tujuan untuk beribadah kecuali pada masjid –masjid yang disebutkan dalam hadits di atas. Hal ini menunjukkan adanya perhatian Nabi terhadap Aqsha yang penuh barakah serta menggabungkan nilai berkahnya dengan barakah 2 masjid yang mulia ini. Ini sebagai bukti bahwa masjid-masjid ini saling berdekatan dalam hal keutamaan dan tempat berlomba untuk meraih pahala.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: فَضْل الصَّلاَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ عَلَى غَيْرِهِ بِمِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ، وَفِي مَسْجِدِي أَلْفُ صَلاَةٍ وَفِي مَسْجِدِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ خَمْسُمِائَةِ صَلاَةٍ
Artinya:
Dari Abu Darda` Radhiyallahu anhu berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Shalat di Masjidil Haram seninai 100.000 shalat, shalat di Masjidku senilai 1000 shalat.dan shalat di Baitul Maqdis senilai 500 shalat.
Pergi menuju Masjidil Aqsha dengan tujuan shalat di dalamnya akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَمَّا فَرَغَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ مِنْ بِنَاءِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سَأَلَ اللَّهَ ثَلَاثًا حُكْمًا يُصَادِفُ حُكْمَهُ وَمُلْكًا لَا يَنْبَغِي لَأَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ وَأَلَّا يَأْتِيَ هَذَا الْمَسْجِدَ أَحَدٌ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فِيهِ إِلَّا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا اثْنَتَانِ فَقَدْ أُعْطِيَهُمَا وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ أُعْطِيَ الثَّالِثَةَ
Artinya:
”Tatkala Sulaiman bin Dawud Alaihissallam selesai membangun Baitul Maqdis, dia meminta kepada Allah Azza wa Jalla tiga hal. Hukum yang sesuai dengan hukum Allah Azza wa Jalla, kerajaan yang tidak pernah diberikan seorangpun setelahnya dan agar seseorang yang mendatangi masjid ini untuk mengerjakan shalat di dalamnya, dosa-dosanya keluar sebagaimana dia keluar dari rahim ibunya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: adapun yang kedua aku telah diberi dan aku berharap akan diberi yang ke tiga. [HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah]
Nabi juga memberikan kabar gembira dengan kemenangan Baitul Maqdis. Diantara yang menguatkan hadits ini adalah hadits Auf bin Malik Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اعْدُدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ مَوْتِي ثُمَّ فَتْحُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ
Artinya:
Hitunglah enam hal sebagai tanda kiamat, kematianku dan kemenangan Baitul Maqdis [HR. Bukhari]
Al-Quds adalah Ibukota (pusat) Khilafah Islamiyah di akhir zaman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meletakkan tangan diatas kepala Abdullah Bin Hawalah dan berkata,
يَا ابْنَ حَوَالَةَ إِذَا رَأَيْتَ الْخِلَافَةَ قَدْ نَزَلَتْ الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ فَقَدْ دَنَتْ الزَّلَازِلُ وَالْبَلَايَا وَالْأُمُورُ الْعِظَامُ وَالسَّاعَةُ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ إِلَى النَّاسِ مِنْ يَدَيَّ هَذِهِ مِنْ رَأْسِكَ
Artinya:
“Wahai Ibnu Hawalah, apabila engkau melihat khilafah telah turun di bumi yang suci, maka telah dekat kegoncangan, kekacauan. dan sesuatu yang besar. Ketika itu kiamat lebih dekat kepada manusia daripada tanganku ini di kepalamu.”[HR. Abu Dawud dan Ahmad]
Sesungguhnya masalah al Quds adalah permasalahan kaum muslimin semuanya, sesuai nash kitabullâh dan sunah rasulnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap muslim mempunyai hak terhadap bumi berkah tersebut, datang ke sana dan wajib menolongnya dalam setiap bentuknya.
Masjidil Aqsha dan Masjidil Haram memiliki hubungan dalam hal sebagai kiblat beribadah bagi kaum muslimin, yaitu dalam hal arah ibadah dalam shalat. Masjidil Aqsha merupakan kiblat para nabi terdahulu. Tidak ada satu nabi pun melainkan ia pasti menampakkan terang-terangan bahwa agamanya adalah Islam, walaupun syariat mereka berbeda-beda dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas sunah-sunah para nabi sebelumnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
Terjemahnya:
“Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka.” [QS. al-An`am/6: 90]
Di antara bentuk ittiba` beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Baitul Maqdis dalam shalatnya sebagai bentuk ketaatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada syariat Allah Azza wa Jalla. Hal tersebut terus berlangsung hingga kenabian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Beliau melihat Ka’bah berada di hadapannya dan sangat ingin menghadap ke sana, akan tetapi hal tersebut tidak diperkenankan untuk beliau karena tidak adanya perintah syariat dari Allah Azza wa Jalla hingga turun firman Allah Azza wa Jalla,
قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Terjemahnya:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” [QS. al-Baqarah/2: 144]
Al-Aqsha ini akan harus selalu dijaga walaupun bencana menimpa kaum muslimin, sebagai bentuk penjagaan mereka terhadap Islam dan bukti kesungguhan iman mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزَالُ طَاِئفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لِعَدُوِّهِمْ قَاهِرِيْنَ.لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ إِلاَّ مَا أَصَابَهُمْ مِنَ اْلأَوَاءِ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَالِكَ.قَالُوْا : ياَ رَسُوْلَ اللهِ وَأَيْنَ هُمْ؟ قَالَ: بَيْتُ الْمُقَدَّسِ وَأَكْنَافِ بَيْتِ الْمُقَدَّسِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ)
Artinya:
”Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku kelompok yang selalu menolong kebenaran atas musuh mereka . orang-orang yang yang menyelisihi mereka tidak akan membuat mereka goyah kecuali orang yang tertimpa al Lawa` (cobaan ) sampai datang kepada mereka janji Allah Azza wa Jalla. Mereka bertanya. Wahai Rasulullah dimanakah mereka? Beliau menjawab.: Baitul Maqdis dan sisi Baitul Maqdis” [HR. Ahmad]
Sesungguhnya al-Quran telah menuliskan kedudukan al Quds tatkala Allah Azza wa Jalla memperjalankan hambanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berjalan dengan kendaraannya menuju Masjidil Aqsha sampai Baitul Maqdis mendapati Nabi Ibrahim Alaihissallam, Musa Alaihissallam, dan Isa Alaihissallam termasuk kumpulan para nabi dan rasul. Beliau mengucapkan salam kepada mereka semuanya, kemudian beliau dinaikkan ke langit dan melihat tanda-tanda kebesaran Allah Azza wa Jalla. Setelah beliau pulang dari perjalanannnya yang penuh berkah tersebut beliau memberi kabar kepada kaumnya. Sebagian mereka ada yang membenarkannya dan sebagian yang lain ada yang mendustakannya. Sebagian mereka pergi menemui Abu Bakar As Shidiq Radhiyallahu anhu dan mengabarkannya kepada beliau. beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Demi Allah, jika yang berkata adalah Rasulullah, maka dia jujur ”.ada yang bertanya: “Apakah engkau juga membenarkan muhammad dengan berita ini”?. Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab: “Aku akan percaya walaupun beliau membawa kabar yang lebih besar dari kabar ini”.
Apabila Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi gambaran kepada mereka, Abu Bakar Ash Shidiq Radhiyallahu anhu mengatakan: Engkau benar! Aku bersaksi engkau adalah utusan Allah Azza wa Jalla. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku masuk masjid dan shalat dua rakaat, kemudian keluar tiba-tiba Jibril datang kepadaku dengan bejana khamer dan bejana susu. Maka aku pun memilih bejana susu. Jibril berkata : Engkau memilih sesuatu yang sesuai fitrah”. [HR. Ahmad]
Diriwayat Abû Umâmah dalam at Thabrani secara mursal dikatakan, “Kemudian shalat ditegakkan kemudian mereka mendatangi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shalat sebagai imam bagi para nabi seluruhnya di Masjidil Aqsha. Demikianlah kepemimpinan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para Nabi dan Rasul di tempat suci ini sebagai bentuk pemberitahuan bahwa beliau adalah penutup risalah-risalah langit dan bahwa risalahnya adalah sebagai penutup serta beliau adalah Nabi dan Rasul terakhir”.
Kejadian Isrâ` dan Mi`râj seharusnya menjadi tanggungjawab kaum muslimin di seluruh dunia ini, sebagai amanah terhadap al Quds asy Syarîf. Melalaikannya termasuk melalaikan agama Allah Azza wa Jalla dan kelak Allah Azza wa Jalla akan menanyakan kepada kaum muslimin jika mereka melalaikan haknya atau tidak menolong dan mengembalikan haknya.
C. Permusuhan Abadi antara Umat Islam dengan Bangsa Yahudi
Pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan eksistensi, bukan persengketaan perbatasan.
Musuh-musuh Islam dan pengikut-pengikutnya yang bodoh terus berupaya membentuk opini bahwa hakikat pertarungan dengan Yahudi adalah sebatas pertarungan memperebutkan wilayah, konflik perbatasan, persoalan pengungsi dan persoalan air. Dan bahwa persengketaan ini bisa berakhir dengan (diciptakannya suasana hidup) berdampingan secara damai, saling tukar pengungsi, perbaikan tingkat hidup masing-masing, penempatan wilayah tinggal mereka secara terpisah-pisah, dan mendirikan sebuah negara sekuler kecil yang lemah di bawah tekanan ujung-ujung tombak zionisme, yang kesemua itu (justru) menjadi pagar-pagar pengaman bagi negara zionis.
Mereka semua tidak mengerti bahwa pertarungan kita dengan Yahudi adalah pertarungan lama, semenjak berdirinya negara Islam di Madinah di bawah kepemimpinan utusan Allah bagi seluruh manusia, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah telah menceritakan kepada kita hakikat kedengkian dan permusuhan orang-orang Yahudi kepada Umat Islam dan Umat Tauhid (dalam firman-Nya),
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا
Terjemahnya:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik … [QS. al-Maidah/5: 82]
Perhatikan, bagaimana Allah menyebutkan permusuhan orang-orang Yahudi terlebih dahulu, baru kemudian permusuhan orang-orang musyrik, padahal kekafiran merupakan satu agama, namun tingkat permusuhan mereka terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda-beda. (Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman),
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Terjemahnya:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga mengikuti agama mereka” [QS. al-Baqarah/2: 120]
Sejak tarikan nafas umat Islam pertama dalam Islam, orang-orang Yahudi sudah melancarkan permusuhannya kepada umat Islam dan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah aman dari gangguan bangsa Yahudi itu sendiri.
Mereka pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tiga kali:
1. Percobaan pembunuhan dengan menjatuhkan batu penggiling gandum di kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Ketika mereka meletakkan racun dalam daging kambing yang diperuntukkan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Ketika Labid bin A’sham al-Yahudi -la’natullah ‘alaih- menyihirnya.
Lihatlah (kini) bangsa Amerika, ternyata selalu membekali orang-orang Yahudi dengan senjata-senjata penghancur yang tak tanggung-tanggung, supaya dapat digunakan untuk membunuh anak-anak, para wanita dan orang-orang tua muslim bangsa Palestina. Pada saat yang sama bangsa Amerika membikin sibuk dunia dengan pemilihan Presidennya, guna menutupi penyembelihan-penyembelihan masal muslim bangsa Palestina yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Perhatikan pula bangsa Inggris. Mereka juga senantiasa membekali orang-orang Yahudi dengan peluru-peluru berhulu ledak pemusnah yang mengakibatkan terbunuhnya manusia secara biadab dan menimbulkan cacat seumur hidup bagi para pemuda Palestina. Inilah umat yang, baik pemuda, orang tua, anak-anak, bayi-bayi maupun wanita, menjadi sasaran bantai orang-orang Yahudi dan kaki tangannya.
Lihatlah para kaki tangan Yahudi membikin sibuk umat dengan luka-luka rakyat Palestina yang muslim, di sisi lain mereka menutupi kejahatan orang-orang Yahudi dengan mengadakan pertandingan-pertandingan olah raga yang tiada guna serta acara-acara sia-sia yang dapat meracuni dan meninabobokan umat Islam.
Belumlah kaum Muslimin menyadari bahwa pertarungan kita dengan kaum Yahudi adalah pertarungan aqidah, pertarungan peradaban, pertarungan eksistensi dan pertarungan identitas? Bukankah kaum Yahudi membakar masjid Al-Aqsha, bukankah mereka menggali lobang-lobang di bawahnya supaya bangunan itu runtuh? Bukankah mereka membantai kaum Muslimin ketika tengah bersujud pada bulan Ramadhan di masjidnya nabi Ibrahim Al-Khalil ‘Alaihis sallam itu? Bukankah mereka merobek-robek perut wanita hamil, membantai anak-anak balita serta membumi hanguskan segalanya, baik yang hijau basah maupun yang kering kerontang? Bukankah bangsa Yahudi telah menjadikan masid-masjid di Palestina sebagai toko-toko minuman keras dan tempat-tempat perjudian? Bukankah mereka juga menjadikan sebagian masjid itu sebagai kandang-kandang ternak dan tempat pembuangan sampah? Apakah setelah itu semua, lalu dikatakan bahwa pertarungan kita melawan Yahudi sekedar pertarungan memperebutkan tanah perbatasan yang penyelesainnya adalah dengan mendirikan sebuah negari kecil Palestina dengan ibukotanya Al-Quds As-Syarief, sebuah negeri yang -menurut anggapan mereka- mampu menghimpun pemeluk tiga agama sekaligus untuk hidup berdampingan? Apakah mereka tidak memahami bahwa agama yang ada di sisi Allah hanyalah Islam? Ataukah mereka tidak memahami bahwa Ibrahim ‘Alaihis sallam berlepas diri dari kemusyrikan dan paganisme kaum Yahudi dan Nashrani?
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Terjemahnya:
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi Islam (menyerahkan diri kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia dari golongan orang-orang musyrik”. [QS. Ali Imran/3: 67]
Sesungguhnya penyelesaian (satu-satunya) yang bangsa Yahudi sendiri sudah memahaminya adalah (penyelesaian melalui) jihad -yang sesuai persyaratan Islam- dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah.
Orang-orang Yahudi tidak menghendaki perdamaian, yang dikehendaki adalah menyerah (takluk)nya umat ini. Yang dikehendaki adalah ruku’ dan merendahnya umat Islam ini kepada Yahudi serta hapusnya bahasa jihad dari kaum Muslimin. Supaya mereka menjadi budak, buruh serta orang-orang upahan kaum Yahudi, sehingga dapat dipukul dengan sandal atau dihajar dengan cambuk menurut kehendaknya.
Sungguh konflik sejati antara kita dengan bangsa Yahudi tidak akan berakhir dengan berdirinya sebuah negara kecil yang tidak mengangkat syi’ar Islam dan tidak (pula) menegakkan syari’at Islam. Bagaimana mungkin konflik itu akan berkahir, sedangkan seorang Muslim dalam shalatnya setiap sehari semalam membaca sebannyak tujuh belas kali (kalimat),
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Terjemahnya:
“Bukan jalanya orang-orang yang dimurkai Allah (yaitu orang-orang Yahudi) dan bukan pula jalannya orang-orang sesat (orang-orang Nashrani)”. [QS. Al-Fatihah/1: 7]
Orang-orang yang dimurkai dalam ayat di atas adalah orang-orang Yahudi. Sedangkan orang-orang sesat adalah orang-orang Nashrani, menurut kesepakatan para ahli Tafsir hingga hari kiamat.
Pertempuran dahsyat yang akan memusnahkan orang-orang Yahudi hingga orang terakhir pasti akan terjadi kelak. Yaitu pertempuran atas dasar Iman, pertempuran yang merupakan peribadatan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits (Shahih Bukhari dan Muslim),
يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ
Artinya:
“Kalian akan memerangi kaum Yahudi, kalian akan memerangi mereka, sampai batu dan pohon berkata: “Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ini di belakangku ada orang Yahudi, bunuhlah ia”. Kecuali pohon Gharqad, sebab pohon itu adalah pohon kaum Yahudi”.
Ini merupakan janji yang benar dari seorang Nabi yang tidak pernah berkata berdasarkan hawa nafsu. Janji tersebut menegaskan hakikat permusuhan (kaum Muslimin) dengan orang Yahudi. Tidak sebagaimana opini yang dibentuk oleh media-media massa yang sesat dan menyesatkan.
D. Modal Utama untuk Meraih Kemenangan Islam di Palestina
Sejak lebih dari setengah abad yang lalu, umat Islam ditimpa bencana kekalahan bertubi-tubi. Kebanyakan orang lupa tentang sebab-sebab kekalahan dan musibah ini. padahal Allah berfirman,
قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
Terjemahnya:
“Katakanlah: Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” [QS. Ali-Imran/3: 165]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Terjemahnya:
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. [QS. Asy-Syura/42: 30]
Seandainya umat kita -baik penguasa maupun rakyat- mau menghayati Al-Qur’an kemudian mengamalkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya, niscaya mereka akan melakukan upaya-upaya untuk menang melawan musuh-musuhnya. Dan niscaya pula akan mengetahui sunatullah terhadap mahluk-Nya -yang tidak pernah berubah, berganti dan bergeser- sepanjang masa.
7 Faktor kunci kemenangan Islam di Palestina, diantaranya:
1. Tauhid, Iman, dan Amal Shalih
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
Terjemahnya:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh-sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku”. [QS. An-Nur/24: 55]
2. Siapa yang Menolong Agama Allah, Niscaya Allah Akan Menolongnya
Menolong agama Allah ialah:
a. Dengan menegakkan syari’at-Nya dan dengan mengikuti petunjuk Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mewujudkan peribadatan hanya kepada Allah, menghidupkan sunnah dan mematikan serta memberantas bid’ah.
b. Dengan memberikan loyalitas kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta memberikan permusuhan kepada pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah.
c. Dengan melaksanakan amar ma’ruf-nahi mungkar serta jihad melawan musuh-musuh Allah dimanapun mereka berada.
d. Menolong agama Allah ialah dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya; menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. [QS. Al-Hajj/22: 40]
Orang yang demikian keadaannya, niscaya tidak akan dapat dikalahkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنْ يَنْصُرْكُمُ اللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِنْ يَخْذُلْكُمْ فَمَنْ ذَا الَّذِي يَنْصُرُكُمْ مِنْ بَعْدِهِ
Terjemahnya:
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu ?”. [QS. Ali-Imran/3: 160]
3. Sabar dan Taqwa Adalah Sebab Datangnya Pertolongan dan Bantuan Allah
Sesungguhnya Allah telah menjanjikan orang yang bersabar dan bertaqwa untuk memberikan pertolongan, kemenangan, bantuan, keberuntungan dan punahnya tipu daya musuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
بَلَىٰ ۚ إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَٰذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ ﴿١٢٥﴾ وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ لَكُمْ
Terjemahnya:
“Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertaqwa, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu”. [QS. Ali Imran/3: 125-126]
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
Terjemahnya:
“Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka tidak sedikitpun mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan”. [QS. Ali-Imran/3: 120]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاعْلَمْ أنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الفَرَجَ مَعَ الكَربِ، وَأَنَّ مَعَ العُسرِ يُسراً
Artinya;
“Ketahuilah bahwa jalan keluar disertai kesulitan, bahwa kemenangan disertai kesabaran dan sesungguhnya bersama kesukaran terdapat kemudahan”. [Hadits shahih seperti dikatakan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Iqazh Al-Hinam Muntaqa Jami’al-Ulum wa Hikam, h. 280, diriwayatkan oleh Ahmad, Abd bin Humaid dll]
4. Setiap Orang yang Teraniaya (Dizalimi) Mendapat Janji Pertolongan dari Allah, Apalagi Jika Ia Seorang Mukmin yang Bertaqwa
Itu karena kezaliman adalah kegelapan. Allah telah mengharamkan kezaliman pada diri-Nya, dan Dia telah menjadikan kezaliman itu haram bagi mahluk-Nya. Allah memerintahkan supaya memberi pertolongan kepada orang yang dizalimi. Allah menjadikan do’anya orang yang terzalimi (teraniaya) makbul dan tidak ada penghalang yang menutupi do’a itu dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ
Terjemahnya:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesunguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. [QS. al-Hajj/22: 39]
ذَٰلِكَ وَمَنْ عَاقَبَ بِمِثْلِ مَا عُوقِبَ بِهِ ثُمَّ بُغِيَ عَلَيْهِ لَيَنْصُرَنَّهُ اللَّهُ
Terjemahnya:
“Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiyayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya”.[QS. al-Hajj/22: 60]
Terdapat pula riwayat bahwa Allah pada hari kiamat akan mengqishas kambing yang bertanduk karena menganiaya kambing yang tidak bertanduk. [Hadits Riwayat Tirmidzi. Ini merupakan sempurnanya keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terhadap binatang saja demikian, apalagi terhadap suatu masyarakat yang dikucilkan, diusir dari negerinya sendiri, dilarang menggunakan senjata untuk melakukan perlawanan terhadap musuhnya dan tempat tinggalnya di pencar-pencar]
5. Mengikuti Agama Secara Benar Dijanjikan Mendapat Pertolongan
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Terjemahnya:
“Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai” [QS. at-Taubah/9: 33]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَبْلُغَنَّ هَذَا الْأَمْرُ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ، وَلَا يَتْرُكُ اللَّهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلَا وَبَرٍ إِلَّا أَدْخَلَهُ اللَّهُ هَذَا الدِّينَ، بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ، عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الْإِسْلَامَ، وَذُلًّا يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ الْكُفْرَ
Artinya:
“Sungguh-sungguh perkara (Islam) ini akan mencapai apa yang dicapai oleh malam dan siang. Dan tidak akan tersisa sebuah rumah tembokpun, tidak pula rumah ilalangpun kecuali Allah akan masukkan agama ini ke dalamnya ; dengan kemulian orang mulia atau dengan kehinaan orang hina. Kemuliaan yang Allah muliakan Islam dengannya (orang mulia tersebut), dan kehinaan yang Allah hinakan kekafiran dengan orang hina tersebut“. [Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Bisran, Thabrani, Ibnu Mandah, Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Naqdisi, Al-Hakim dan lain-lainnya. Lihat Silsilah Shahihah No.3]
Ini adalah janji yang termuat dalam Kitab Allah dan tertuangkan melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janji Allah tidak mungkin diingkari, sebab Allah tidak mengingkari janji.
6. Perselisihan dan Perpecahan adalah Sebab Kegentaran dan Kekalahan
Umat Islam tidak mengalami kekalahan kecuali karena pertentangan dan perpecahan mereka. Seandainya mereka bersatu padu dalam kalimat tauhid, bersatu bahasanya, sama-sama berpegang teguh pada tali Allah, berjihad melawan musuh-musuhnya untuk menjunjung tinggi kalimat Allah dan menegakkan tauhidullah serta memberantas habis kemusyrikan, niscaya Allah menolongnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu saling bertentangan (berbantah-bantahan), yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar”. [QS. Al-Anfal/8: 46]
7. Melakukan Persiapan untuk Berperang (Moril Maupun Materil)
Yaitu dengan melakukan upaya-upaya sesuai dengan Sunnah Nabawiyah yang telah ditempuh oleh para nabi, padahal para nabi adalah orang-orang yang sangat jujur dan tawakkal kepada Allah. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muncul dengan mengenakan dua buah baju zirah dalam salah satu pertempuran, beliau juga memakai pelindung kepala dalam peperangan.
Demikian pula para sahabatnya-pun mengenakan baju zirah yang menyelimuti seluruh tubuh. Dan ini semua tidak menghilangkan tawakkal kepada Allah Subahanhu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
Terjemahnya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sangggupi dan kuda-kuda yang ditambat untuk berperang”. [QS. Al-Anfal/8:60]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat di atas dengan sabdanya,
مِنْ قُوَّةٍ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ
Artinya:
“ Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu adalah melepaskan anak panah (menepatkan sasaran -pen). Ketahuilah bahwa kekuatan adalah melepaskan anak panah (menepatkan sasaran)”. [HR. Muslim]
E. Apa Peran Kita Hari ini untuk Membantu Gaza?
Peran dan cara membantu Gaza sangat banyak bisa dilakukan oleh kaum Muslimin, diantaranya:
1. Doa terus menerus jangan pernah bosan untuk mendoakan kemenangan bagi Gaza dan kaum muslimin (termasuk kunut nazilah dalam salat 5 waktu),
2. Menyebarkan informasi valid terkini kondisi di gaza dengan jujur mendukung muqawamah perjuangan Islam dan kemerdekaan di Gaza,
3. Melakukan boikot semua produk pendukung Zionis Yahudi Israel sekecil apapun,
4. Berdonasi sekemampuan kita meskipun sedikit tapi dawam,
5. Melakukan unjuk rasa dan aksi damai, suarakan keadilan dan kemerdekaan bagi Palestina,
6. Selalu menghadirkan niat Jihad terhadap penjajah di mana saja kita berada (Walau berdoa: Allahummarzuqnaa al-Syahadah fi Sabilik)
7. Komintmen dalam saf perjuangan dakwah kaderisasi pejuang sebagaimana Syekh Ismail Haniyeh rahimahullah
8. Selalu siap dipanggil kapan saja untuk berjuang membela Gaza palestina di semua medan (Jangan lupa rutin Tarbiyah Jasadiyah)
9. Jadikan tanggal 3 Agustus adalah Hari/Tanggal Pembelaan Kaum Muslim Dunia terhadap Gaza sampai merdeka (pastikan selalu memakai atribut Palestina). Allahu Akbar!
(Demikianlah) kita memohon kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala agar Dia memberikan taufiq kepada kita untuk melakukan usaha-usaha ke arah kemenangan melawan kaum Yahudi dan melawan semua musuh Islam lainnya, termasuk melakukan pembinaan dan kaderisasi muslim ideal yang siap membela umat dan agamanya. Pada hari kemenangan itulah kaum Mukminin bergembira ria mendapat pertolongan Allah. Dan itu tidaklah sulit bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu Waliyyu al-Taufiq
Wallahu A’lam.
Maraji:
1) Dirasatun Fil Ad-yan Al-Yahudiyah wan Nashraniyah, Dr. Su’ud bin Abdil Aziz Al-Khalaf, Penerbit Adhwa-us Salaf, Cetakan I, Th. 1422H/2003M.
2) Mujaz Tarikhil Yahudi war-Raddi Ala Ba’dhi Maza’imil Bathilah, Dr. Mahmud bin Abdir Rahman Qadah, Majalah Jami’ah Islamiyah, Edisi 107, Th. 1418-1419H.
3) Shahih Qashashil Anbiya, karya Ibnu Katsir, Abu Usamah Salim bin Id Al-Hilali, Maktabah Al-Furqan, Cetakan I Th. 1422H.
4) Tafsir Al-Qur’anil Azhim, Abu Fida Ismail Ibnu Umar Ibnu Katsir, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Cetakan II, Th.1422H.
5) أسبوع القدس العالمي (https://t.me/weekpal)