Menanggapi Beberapa Keraguan (Syubhat) Mengenai Sifat Kesempurnaan Allah Swt (Sifat Istiwa)
Allah Ta’ala memiliki sifat Al-‘Uluw yaitu Maha Tinggi, dan dengan ke-Maha Tinggi-an-Nya Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy. Istiwa artinya ‘alaa was taqarra, tinggi dan menetap. Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy artinya Allah Maha Tinggi menetap di atas ‘Arsy. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (Allah) ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5).
Pembahasan serta dalil-dalil lengkap mengenai masalah ini silakan simak artikel Sifat Istiwa’ Allah di Atas ‘Arsy.
Namun aqidah ini diingkari oleh sebagian orang. Mereka mengingkari bahwa Allah memiliki sifat Al-‘Uluw Maha Tinggi dan mereka juga mengingkari bahwa Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy. Mereka mendasari keyakinannya tersebut dengan beberapa alasan, diantaranya:
SYUBHAT-SYUBHAT
Syubhat 1
Mereka mengatakan bahwa makna istiwa itu adalah istaula (menguasai), sebagaimana dalam sya’ir:
قَدْ اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ أَوْ دَمٍ مِهْرَاقِ
Bisyr menguasai Irak
Tanpa menggunakan pedang atau menumpahkan darah
Kata بِشْرٌ di sini maksudnya Bisyr bin Marwan, orang yang pernah menjadi penguasa Irak. Sehingga makna اسْتَوَى di sini maksudnya menguasai Irak. Mereka mengatakan: “lihat, ini sya’ir arab. Dan mustahil makna istiwa di sini artinya Bisyr berada di atas Irak, atau berada di tempat tinggi tepat di atas Irak. Lebih lagi ketika itu belum ada pesawat terbang yang memungkinkan seseorang berada di atas Irak. Dengan demikian dalam bahasa arab sudah dikenal bahwa istiwa itu terkadang maknanya istaula (menguasai)”.
Syubhat 2
Mereka menyatakan bahwa jika kita menyimpulkan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy, hal tersebut akan mengakibatkan kesan bahwa Allah membutuhkan ‘Arsy. Namun, sangat tidak mungkin bagi Allah untuk membutuhkan makhluk, sehingga dengan demikian, keberadaan Allah di atas ‘Arsy juga menjadi mustahil.
Syubhat 3
Mereka menyatakan bahwa jika kita menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy, implikasinya adalah bahwa Allah memiliki bentuk fisik (jism), karena istiwa diartikan sebagai suatu yang berada di atas sesuatu. Selain itu, konsekuensi lainnya adalah bahwa Allah menjadi mahduud, yaitu terbatas oleh ruang dan waktu, karena sesuatu yang berada di atas sesuatu akan dibatasi oleh batas-batas ruang. Sebagai contoh, jika Anda duduk di atas kursi, Anda berada dalam batasan ruang kursi tersebut.
TANGGAPAN SYUBHAT
Bantahan terhadap syubhat-syubhat ini dirinci dalam beberapa poin:
Pertama: Penafsiran lafadz istiwa dengan istaula adalah penafsiran yang bertentangan dengan penafsiran para salaf, yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka bersepakat bahwa istiwa ditafsirkan sebagaimana makna zhahirnya. Tidak ada satu pun riwayat shahih yang dinukil dari mereka bahwa mereka menafsirkan istiwa dengan istaula atau pun makna lain yang bertentangan dengan makna zhahir (makna lugas).
Kedua: Penafsiran lafadz istiwa dengan istaula adalah penafsiran yang bertentangan makna zhahir (makna lugas) dari lafadz. Kata istiwaاسْتَوَى jika diikuti dengan على maka artinya adalah al ‘uluw wal istiqrar (tinggi dan menetap). Inilah makna lugas dari istiwa. Dan makna inilah yang dipakai dalam Al Qur’an ketika disebut kata istiwa juga dipakai dalam kebiasaan orang Arab.
Ketiga: Penafsiran yang demikian menimbulkan beberapa konsekuensi yang batil, diantaranya:
Allah Ta’ala ketika menciptakan langit dan bumi, Ia tidak menguasai ‘Arsy. Karena Allah Ta’ala berfirman:
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber-istiwa’ di atas Arsy” (QS. Al A’raf: 54).
Kata ثُمَّ dalam ayat ini memiliki makna urutan. Yaitu setelah Allah selesai menciptakan langit dan bumi, Ia ber-istiwa di atas ‘Arsy. Jika istiwa maknanya istaula (menguasai), maka berarti Allah baru menguasai ‘Arsy setelah selesai menciptakan langit dan bumi. Sebelum itu, Allah belum menguasainya.
Secara umum, dalam konteks kalimat bahasa Arab, kata istaula (menguasai) tidak digunakan kecuali setelah sebelumnya dikalahkan. Jadi, sebelumnya dikalahkan, lalu mencoba menguasai, lalu akhirnya istaula (menguasai). Dengan demikian seakan-akan artinya Allah sebelumnya dikalahkan, lalu baru Ia istaula.
Boleh kita mengatakan bahwa Allah itu
اسْتَوَى عَلَى الْشَجَرِ
“Allah ber-istiwa di atas pohon”
اسْتَوَى عَلَى الْجَبَالِ
“Allah ber-istiwa di atas gunung”
اسْتَوَى عَلَى الْحِمَارِ
“Allah ber-istiwa di atas keledai”, dan semacamnya.
atau semacamnya. Karena tentu saja Allah menguasai semua makhluk tersebut
Demikian beberapa konsekuensi batil jika kita memaknai istawa dengan istaula.
Keempat: adapun pendalilan mereka dengan bait syair yang disebutkan di atas, kita jawab dengan beberapa poin:
Silakan jabarkan kepada kami sanad dari bait tersebut, apakah perawinya shahih atau tidak? Tentu mereka tidak bisa melakukannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “tidak ada keterangan yang valid bahwa syair tersebut adalah syair yang dikenal orang Arab. Selain itu, lebih dari satu orang imam dalam ilmu lughah, telah mengingkari syair ini. Mereka mengatakan: ‘ini syair yang dibuat-buat yang tidak dikenal dalam bahasa Arab‘. Dan telah kita ketahui bersama bahwa jika seseorang berdalil dengan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maka kita perlu mengecek keshahihannya. Maka bagaimana lagi dengan bait syair yang tidak diketahui sanadnya dan telah dicela oleh para imam ahli lughah?” (Majmu’ Fatawa, 5/146).
Siapa yang mengucapkan syair ini? Bukankah ada kemungkinan syair ini baru dibuat orang setelah bahasa Arab terkontaminasi? Setiap perkataan yang dijadikan dalil dalam masalah lughah namun itu dikatakan setelah bahasa Arab terkontaminasi, maka itu bukan dalil. Karena bahasa Arab mulai terkontaminasi sejak dibukanya negeri-negeri Arab bagi para pendatang dari luar sehingga orang ajam (non Arab) masuk lalu lisan orang Arab pun tercampuri.
Andaikan bait tersebut shahih sebagai bait yang diucapkan orang Arab. Maka menafsirkan kalimat اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَقِ dengan memaknai istiwa di sini sebagai istaula, adalah penafsiran yang bertentangan dengan qarinah. Karena masih bisa dibenarkan jika kita maknai istiwa ini sebagaimana makna aslinya, yaitu kita maknai bahwa Bisyr berada di tempat tinggi di Iraq kemudian ia berada di atas ranjang atau di atas kuda atau lainnya. Sehingga kita tidak perlu memaknainya dengan istaula.
Kelima: Mengenai syubhat bahwa jika kita tafsirkan istiwa sebagaimana makna sebenarnya, maka konsekuensinya berarti Allah memiliki jism (badan), dan ini mustahil. Maka kita perlu tanyakan kepada mereka apa yang kalian maksud bahwa Allah mustahil memiliki jism (badan) ? Karena jism ini bukanlah sifat Allah, sebab penyebutan sifat ini untuk Allah tidak terdapat dalam Al Qur’an atau hadits. Sehingga lafadz jism untuk Allah, tidak kita tetapkan dan juga tidak kita ingkari. Maka penilaian kita tergantung apa yang mereka maksud dari lafadz jism itu sendiri.
Jika yang mereka maksud “Allah mustahil memiliki jism (badan)” adalah: Allah bukanlah Dzat yang hakiki dan Allah tidak memiliki sifat-sifat, maka ini pernyataan batil, bertentangan dengan banyak ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Karena Allah itu ada, Ia adalah Dzat yang hakiki dan Ia memiliki sifat-sifat yang layak bagi-Nya. Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, demikian juga Ia memiliki tangan, memiliki wajah, memiliki mata, dan sifat-sifat lainnya yang layak bagi-Nya dan berbeda dengan makluk-Nya yang ini semua dinyatakan oleh Allah sendiri atau dikabarkan melalui sabda Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Adapun jika yang mereka maksud jism (badan) adalah badan yang tersusun atas daging, tulang, darah, jantung, paru-paru, dan lainnya sebagaimana badan manusia, maka ini tentu mustahil bagi Allah karena Allah tidak serupa dengan hamba-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Dan jika kita menetapkan bahwa Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy, sama sekali tidak berkonsekuensi bahwa Allah memiliki jism (badan) yang demikian.
Keenam: Mengenai syubhat bahwa jika kita menetapkan Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy, maka berarti Allah ada dalam suatu hadd (batas) ruang. Maka kita jawab sebagaimana pada poin kelima, apa yang kalian maksud dengan hadd (batas) dalam hal ini? Karena jika yang dimaksud adalah bahwa Allah itu memiliki batas perbedaan yang jelas dengan makhluk-Nya, dan segala sesuatu yang selain Allah adalah makhluk, maka ini benar.
Namun jika yang dimaksud hadd (batas) adalah bahwa ‘Arsy melingkupi Allah, ‘Arsy lebih besar dari-Nya, maka ini batil. Juga bukan merupakan konsekuensi dari penetapan istiwa Allah. Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy walaupun Allah lebih besar dari ‘Arsy, karena ia Maha Besar.
وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” (QS. Az Zumar: 67)
Ketujuh: Mengenai syubhat bahwa jika kita menetapkan Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy, artinya Allah butuh kepada ‘Arsy. Tentu tidak demikian. Kita jawab syubhat ini dalam beberapa poin:
Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy bukanlah maknanya Allah diangkat dan dibawa oleh ‘Arsy. Allah berada di atas ‘Arsy namun tidak berarti Allah diangkat dan dibawa oleh ‘Arsy sehingga Allah butuh kepada ‘Arsy.
Allah itu Al Ghaniy dan tidak butuh kepada ‘Arsy, justru ‘Arsy yang butuh kepada Allah. Karena semua makhluk itu butuh kepada Allah agar ia tetap eksis, termasuk juga ‘Arsy.
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS. Fathir: 41)
Menetapnya A di atas B, tidak melazimkan bahwa A pasti butuh pada B. Buktinya langit ada di atas bumi, namun langit tidak butuh pada bumi. Padahal langit dan bumi adalah makhluk Allah. Maka bagaimana lagi perkaranya pada Allah ‘Azza Wajalla yang qaadirun ‘ala kulli syai, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Allah yaf’alu maa yuriid, Maha Kuasa untuk melakukan apa yang Ia kehendaki? Maka lebih mungkin lagi bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy tanpa butuh kepada ‘Arsy.
Istiwa Allah tentu tidak serupa dengan istiwa makhluk. Jangan dibayangkan bahwa Allah Ta’ala menetap di atas ‘Arsy dalam keadaan duduk, atau berbaring, atau bersila, atau semacamnya sebagaimana jika makhluk ber-istiwa di atas sesuatu. Demikian juga, keumuman makhluk Allah, jika ber-istiwa di atas sesuatu benda maka ia butuh kepada benda tersebut. Sebagaimana jika manusia duduk di atas kursi, ia butuh kepada kursi. Dan jika kursi diambil maka seketika ia terjatuh. Adapun Allah, tentu tidak demikian. Allah tidak butuh kepada ‘Arsy, istiwa Allah tentu tidak serupa dengan istiwa makhluk
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Demikian jawaban beberapa kerancuan yang didengungkan sebagian orang untuk menolak sifat istiwa bagi Allah. Maka, jika ditanya dimanakah Allah? Jawabnya: Allah Ta’ala Maha Tinggi Ia ber-istiwa di atas ‘Arsy. Inilah aqidah yang diyakini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, para sahabat, para ulama ahlus sunnah wal jama’ah sejak dahulu hingga sekarang.
Wallahu ’Alam.
Referensi:
- Syarah Al Aqidah Al Washithiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 242-246, cetakan Dar Ibnu Jauzi.
- Ta’liqat Mukhtasharah ‘ala Matni Al Aqidah Ath Thahawiyyah, Syaikh Shalih Fauzan bin Fauzan.