Pelajaran dan Hikmah dari Perjuangan Gaza
Tragedi yang menimpa umat Islam secara umum, khususnya penderitaan saudara-saudara kita di Gaza, memanggil kita untuk merenung dengan sungguh-sungguh. Kita perlu menelusuri sumber persoalan, mengidentifikasi kelemahan, dan memperbaiki kekurangan secara bertahap.
Bagaimana tidak, jumlah umat Islam saat ini mencakup seperlima dari total populasi dunia. Namun, mengapa di berbagai belahan bumi, umat Islam masih mengalami penindasan dan perampasan hak-haknya? Padahal Allah telah menjanjikan kejayaan, kemakmuran, dan kedamaian bagi orang-orang beriman yang melakukan amal saleh.
Allah berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan beramal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya, serta mengganti rasa takut mereka dengan rasa aman. Mereka menyembah-Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu apa pun. Dan barang siapa yang tetap kufur setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur: 55)
Namun, mengapa hingga kini umat Islam belum mampu menghentikan kebrutalan dan kekejaman terhadap saudara-saudara mereka di Gaza? Mengapa reaksi umat terbatas pada kecaman dan teriakan tanpa tindakan nyata? Bahkan demonstrasi yang dilakukan sering kali justru memperparah kondisi dengan mengganggu ketertiban dan melemahkan pemerintahan.
Kondisi ini seharusnya menggugah hati nurani kita untuk introspeksi. Apakah kita hanya mampu menyalahkan musuh atau mencari dalih atas kekejaman mereka? Saatnya kita menyadari dan mempercayai firman Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela melihat umat Islam hidup damai dan sejahtera:
مَّا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ الْمُشْرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيْكُم مِّنْ خَيْرٍ مِّن رَّبِّكُمْ
“Orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan kaum musyrik tidak menginginkan kebaikan apa pun diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah: 105)
Menggali Akar Permasalahan
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin pernah menyatakan bahwa andai orang-orang kafir, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani, maupun kaum musyrikin, dapat mencegah hujan turun untuk umat Islam, mereka pasti akan melakukannya. Mereka tidak ingin melihat umat Islam menerima kebaikan, meskipun sekecil apa pun. Permusuhan ini telah berlangsung sepanjang masa, sebagaimana Allah jelaskan melalui firman-Nya dalam bentuk kata kerja berkelanjutan:
مَّا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَن يُنَزَّلَ عَلَيْكُم مِّنْ خَيْرٍ مِّن رَّبِّكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan kaum musyrik tidak menginginkan kebaikan apa pun diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Tetapi Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Baqarah: 105)
Selain itu, Allah menegaskan dalam firman-Nya:
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِي جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِۙ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِيّٖ وَلَا نَصِيرٍ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu sampai kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, sesungguhnya petunjuk Allah-lah petunjuk yang benar. Jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 120)
Fakta ini memanggil kita untuk mencari akar persoalan. Dalam konteks ini, ada beberapa penyebab utama yang perlu kita renungkan bersama:
1. Lalai Akan Kehidupan Akhirat
Rasulullah ﷺ menggambarkan situasi umat Islam yang lemah saat ini kepada para sahabatnya. Beliau bersabda:
يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا، فَقَالَ قَائِلٌ: وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ. فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا الْوَهْنُ؟ قَالَ: حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ.
“Akan tiba suatu masa ketika umat-umat lain mengerumuni kalian seperti orang-orang yang berebut makanan di sebuah hidangan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kami yang sedikit saat itu?” Rasulullah menjawab, “Tidak, jumlah kalian sangat banyak, tetapi kalian seperti buih di atas air bah. Allah akan mencabut rasa segan dari hati musuh terhadap kalian, dan Dia akan menanamkan penyakit ‘al-wahan’ di hati kalian.” Ketika ditanya tentang ‘al-wahan,’ Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya)
Penyakit cinta dunia ini tercermin dari kesibukan umat Islam terhadap hal-hal duniawi hingga melupakan akhirat. Rasulullah ﷺ juga memperingatkan,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا، لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ.
“Jika kalian mulai melakukan jual beli dengan riba, memusatkan perhatian pada pertanian, mengikuti keinginan duniawi, dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Kondisi ini terlihat jelas di kehidupan sehari-hari:
- Berapa banyak orang yang meninggalkan aktivitas duniawi untuk memenuhi panggilan adzan dan melaksanakan shalat berjamaah?
- Berapa banyak penonton konser dan pertandingan olahraga dibandingkan dengan jamaah di masjid?
- Berapa banyak wanita yang mengenakan jilbab dengan benar?
- Seberapa sering kita mendoakan saudara-saudara kita seiman dan seakidah di Gaza atau tempat lain?
Penyakit ‘al-wahan’ ini melemahkan umat Islam, membuat kita belum memenuhi syarat untuk meraih janji Allah dalam firman-Nya di QS. An-Nur: 55 di atas.
2. Terperdaya oleh Kemajuan Musuh
Tidak dapat disangkal bahwa musuh-musuh Islam telah mencapai kemajuan besar dalam berbagai bidang, seperti materi, ilmu pengetahuan, dan persenjataan. Di sisi lain, umat Islam justru mengalami kemunduran di hampir semua aspek kehidupan. Kondisi ini bahkan memaksa umat Islam mengimpor kebutuhan sederhana, seperti jarum jahit, dari negara-negara kafir.
Fenomena ini membuat sebagian besar umat Islam mengalami mentalitas rendah diri. Banyak dari kita berusaha meraih kehormatan dengan meniru budaya dan gaya hidup mereka, bahkan mengorbankan prinsip-prinsip agama demi apa yang disebut sebagai kemajuan.
Lebih menyedihkan lagi, dalam situasi musibah seperti yang terjadi di Gaza, umat Islam cenderung mengemis bantuan dari negara-negara yang notabene adalah musuh mereka. Padahal, kemuliaan sejati hanya bisa dicapai dengan berpegang teguh pada iman dan beribadah kepada Allah. Allah berfirman:
ٱلَّذِينَ يَتَّخِذُونَ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۚ أَيَبۡتَغُونَ عِندَهُمُ ٱلۡعِزَّةَۖ فَإِنَّ ٱلۡعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
“Orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong dan meninggalkan orang-orang beriman, apakah mereka mencari kemuliaan dari mereka? Sesungguhnya semua kemuliaan hanya milik Allah.” (QS. An-Nisa: 139)
Kita juga diingatkan oleh pesan Khalifah Umar bin Khattab ketika menerima kunci Baitul Maqdis. Saat menuntun untanya melewati parit dengan terompah yang dilepas dan diletakkan di pundaknya, beliau mendapat komentar dari sahabat Abu Ubaidah, “Aku khawatir penduduk setempat melihatmu seperti ini.” Umar pun menjawab tegas:
إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ، فَأَعَزَّنَا اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ، فَمَهْمَا نَطْلُبِ الْعِزَّ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللَّهُ بِهِ، أَذَلَّنَا اللَّهُ.
“Kita adalah kaum yang dulunya hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Jika kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, Allah akan menghinakan kita.” (HR. Al-Hakim)
Sejarah membuktikan bahwa kejayaan hanya bisa diraih melalui ketaatan kepada Allah. Ketika Shalahuddin Al-Ayyubi mempersiapkan pasukannya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari pasukan salib, beliau memulai dengan memperkuat iman dan amal saleh para prajuritnya, terutama shalat malam. Setiap kali melihat prajurit yang sedang shalat malam atau membaca Al-Qur’an, beliau berkata, “Dari sinilah kemenangan akan datang.” Sebaliknya, jika beliau melihat prajurit yang sedang tertidur lelap, beliau berkata, “Dari sinilah kekalahan akan datang.”
3. Mempercayai Setiap Penebar Semangat
Di tengah musibah atau tragedi besar, banyak pihak muncul memberikan pendapat, ulasan, atau pandangan. Sayangnya, umat Islam sering kali terlalu mudah mempercayai setiap tokoh yang muncul, tanpa mempertimbangkan latar belakang atau niat mereka. Akibatnya, umat menjadi seperti kelinci percobaan, bahkan sering kali menjadi korban kepentingan pihak tertentu.
Allah telah mengajarkan agar umat Islam menyerahkan urusan mereka kepada ulil amri, baik dari kalangan ulama maupun pemimpin. Firman-Nya:
فَإِن جَاءَهُم أَمرٌ مِّنَ ٱلأَمنِ أَوِ ٱلخَوفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَو رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُو۟لِى ٱلأَمرِ مِنهُم لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَستَنبِطُونَهُۥ مِنهُمۗ وَلَولَا فَضلُ ٱللَّهِ عَلَيكُم وَرَحمَتُهُۥ لَٱتَّبَعتُمُ ٱلشَّيطَٰنَ إِلَّا قَلِيلًا
“Jika datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal jika mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentu orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya.” (QS. An-Nisa: 83)
Ibnu Katsir menegaskan bahwa ayat ini mengingatkan umat agar tidak terburu-buru mempublikasikan berita sebelum memastikan keabsahannya. Sebab, sikap gegabah hanya akan memperkeruh keadaan.
4. Perpecahan Umat Islam sebagai Sumber Kehinaan
Menjaga persatuan umat Islam di atas kebenaran adalah prinsip utama dalam syariat Islam. Allah berfirman:
وَاعتَصِمُوا۟ بِحَبلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Rasulullah ﷺ juga mengibaratkan persatuan umat Islam seperti tubuh manusia:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan, kasih sayang, dan kepedulian mereka, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh akan merasakan demam dan susah tidur.” (HR. Muslim)
Sebaliknya, perpecahan adalah sumber utama kehancuran umat. Allah memperingatkan dalam firman-Nya:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta janganlah engkau saling berselisih, yang menyebabkan kegagalan dan hilangnya kekuatanmu.” (QS. Al-Anfal: 46)
Namun, kenyataannya, umat Islam saat ini terpecah belah ke dalam berbagai kelompok, partai, dan sekte. Bahkan dalam satu negara, seperti Palestina, terdapat dua kepemimpinan yang saling bertentangan, yang justru memperburuk penderitaan rakyat.
Solusi utama untuk mengatasi permasalahan ini adalah mengutamakan persatuan. Umat Islam harus meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan demi kepentingan umat secara keseluruhan, sebagaimana kaum Aus dan Khazraj yang melupakan permusuhan masa lalu setelah menerima Islam.
5. Berperang Tanpa Mempersiapkan Kekuatan
Allah telah menetapkan bahwa dunia adalah tempat ujian dan cobaan. Para nabi dan pengikutnya diuji dengan adanya orang-orang kafir, sebagaimana orang kaya diuji dengan yang miskin. Allah berfirman:
وَلَو شَآءَ رَبُّكَ لَءَامَنَ مَن فِى ٱلأَرضِ كُلُّهُم جَمِيعًاۗ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu semua orang di muka bumi beriman.” (QS. Yunus: 99)
Namun, Allah juga berfirman:
وَلَو يَشَآءُ ٱللَّهُ لَٱنتَصَرَ مِنهُم وَلَٰكِن لِّيَبلُوَ بَعضَكُم بِبَعضٍۢ
“Dan jika Allah menghendaki, Dia pasti membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain.” (QS. Muhammad: 4)
Dalam hal ini, Allah memberikan resep bagi umat Islam untuk mengalahkan musuh-musuhnya:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن تَنصُرُوا۟ ٱللَّهَ يَنصُركُم وَيُثَبِّت أَقدَامَكُم
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7)
Persiapan pertama dan utama yang harus dimiliki umat Islam adalah kekuatan iman dan amal saleh. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah berpesan kepada panglima perangnya:
“Bertakwalah kepada Allah dalam setiap keadaan. Takwa adalah senjata paling ampuh dan kekuatan paling besar. Jangan sampai kalian lebih khawatir terhadap musuh dibandingkan dengan dosa-dosamu sendiri, karena dosa lebih aku khawatirkan daripada tipu daya musuh.”
Namun, selain kekuatan iman, umat Islam juga membutuhkan kekuatan materi, teknologi, dan persenjataan. Realitas saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar persenjataan yang dimiliki negara-negara Islam berasal dari negara-negara kafir, baik melalui pembelian maupun pinjaman. Hal ini membuat umat Islam sangat bergantung pada mereka.
Allah telah memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan diri dengan kekuatan yang dapat menggentarkan musuh:
وَأَعِدُّوا۟ لَهُم مَّا ٱستَطَعتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ ٱلخَيلِ تُرهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُم
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (QS. Al-Anfal: 60)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan bahwa jika pada masa kini ada persenjataan yang lebih canggih daripada kuda dan panah, maka umat Islam wajib mempelajarinya dan berusaha memilikinya. Bahkan, jika mempelajari teknologi tersebut adalah satu-satunya cara, maka mempelajarinya menjadi kewajiban berdasarkan kaidah:
“Sesuatu yang menjadi sarana untuk melaksanakan kewajiban, maka ia juga menjadi wajib.”
Kejayaan umat Islam bukan hanya tanggung jawab segelintir kelompok, tetapi menjadi tugas bersama. Setiap individu memiliki peran yang bisa dimainkan sesuai potensinya. Para dai berjuang dengan ilmu mereka, pengusaha dengan hartanya, pejabat dengan kedudukannya, dan ilmuwan dengan keahliannya. Kerja sama ini digambarkan dengan indah dalam sabda Rasulullah ﷺ:
إنَّ اللهَ يُدخِلُ بالسَّهمِ الواحِدِ ثلاثةَ نَفَرٍ الجَنَّةَ: صانِعُه الذي يحتَسِبُ في صَنعتِه الخَيرَ، والذي يُجهِّزُ به في سَبيلِ اللهِ، والذي يرمي به في سَبيلِ اللهِ، وقال: ارمُوا واركَبوا، فإن تَرْمُوا خيرٌ لكم من أن تَرْكبوا، وقال: كُلُّ شيء يلهو به ابنُ آدَمَ فهو باطِلٌ إلَّا ثلاثًا: رَمْيُه عن قَوسِه، وتأديبُه فَرَسَه ، وملاعبَتُه أهلَه؛ فإنَّهنَّ مِن الحَقِّ (رَوَاهُ َأَبُو دَاوُد والنسائي)
“Sesungguhnya Allah akan memasukkan tiga orang ke dalam surga karena satu anak panah: pembuatnya yang mengharapkan kebaikan dalam pekerjaannya, orang yang mempersiapkannya untuk perjuangan di jalan Allah, dan orang yang memanahkannya di jalan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Lemparlah (panah) dan tunggangilah (kuda), karena melempar panah lebih baik bagimu daripada menunggang kuda.’ Beliau juga bersabda: ‘Segala sesuatu yang melalaikan anak Adam adalah batil, kecuali tiga hal: melempar panahnya, melatih kudanya, dan bermain-main dengan keluarganya, karena hal-hal tersebut adalah kebenaran.'” (HR. Abu Dawud dan An-Nasai)
Kabar Gembira untuk Umat Islam
Sebesar apa pun musibah yang menimpa umat Islam, kejayaan akan tetap menjadi milik mereka. Allah berfirman:
يُرِيدُونَ لِيُطفِـُٔوا۟ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفوَٰهِهِم وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَو كَرِهَ ٱلكَٰفِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir membencinya.” (QS. As-Shaff: 8)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan terus ada sekelompok dari umatku yang berada di atas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka orang-orang yang mengkhianati mereka. Mereka akan tetap berjaya hingga datang ketetapan Allah.” (HR. Muslim)
Karena itu, umat Islam tidak seharusnya berputus asa. Sebaliknya, mereka harus mulai membangun kembali kejayaan melalui iman dan amal saleh. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar. Allah berjanji:
إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat.” (QS. Al-Mukmin: 51)
Dengan kesabaran dan keyakinan yang kokoh, umat Islam akan kembali mencapai kejayaan sebagaimana yang dijanjikan Allah. Ibnul Qayyim berkata, “Kepemimpinan dalam agama hanya bisa diraih dengan keyakinan dan kesabaran.”
Kesabaran dalam Menggapai Kemenangan
Pertolongan Allah selalu menyertai mereka yang beriman, sabar, dan yakin terhadap janji-Nya. Namun, sikap terburu-buru hanya akan mendatangkan kegagalan. Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Barang siapa yang tergesa-gesa dalam mencapai sesuatu, niscaya akan diganjar dengan kegagalan.”
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah kisah tentang sahabat Khabbab bin Arat yang datang kepada Rasulullah ﷺ ketika beliau sedang beristirahat di bawah naungan Ka’bah. Khabbab memohon agar Rasulullah berdoa kepada Allah untuk menyegerakan pertolongan bagi kaum Muslimin. Rasulullah ﷺ menjawab dengan menggugah keimanan Khabbab, menceritakan kesabaran umat terdahulu yang tetap teguh meski menghadapi siksaan luar biasa. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa urusan ini akan mencapai kesempurnaannya, tetapi umat Islam harus bersabar dan tidak tergesa-gesa.
Begitu pula dalam perjanjian Hudaibiyyah, ketika Umar bin Khattab merasa berat melihat kaum Muslimin berada dalam posisi yang terlihat lemah, Rasulullah ﷺ mengingatkannya untuk tetap percaya pada janji Allah. Dengan keimanan dan ketaatan yang kokoh, umat Islam akhirnya meraih kemenangan besar setelah perjanjian tersebut.
Selamat, Gaza Menang 2025
Warganet Arab menyambut penuh kelegaan dan kegembiraan atas kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel di Jalur Gaza. Bagi banyak orang, peristiwa ini dianggap sebagai kemenangan signifikan bagi perjuangan Palestina yang selama 15 bulan terakhir menghadapi genosida brutal dan pembersihan etnis yang dilakukan oleh rezim apartheid Israel.
Seorang wanita Palestina melalui platform media sosial X mengungkapkan rasa syukurnya dengan menulis, “Gaza menang, Palestina menang, perlawanan menang. Imperialisme dan Zionisme kalah, Partai Demokrat kalah, masa depan negara Zionis terus terkikis.” Ia juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berpartisipasi atau mendukung genosida ini akan menghadapi konsekuensinya.
Kegembiraan serupa disampaikan oleh Yasmine El-Sabawi, seorang warganet Arab lainnya, yang menyatakan dirinya terharu melihat kebahagiaan rakyat Palestina di Gaza. “Mereka akhirnya dapat meluapkan kelegaan dan kegembiraan yang telah lama dinanti saat mendengar kabar ini,” katanya.
Namun, selain ucapan syukur, banyak komentar diwarnai kecaman terhadap imperialisme dan Zionisme. Banyak warganet menyoroti kegagalan Amerika Serikat sebagai pendukung utama Israel dalam menghadapi keteguhan perlawanan rakyat Gaza. Salah satu pengguna menulis, “Mereka mencoba memusnahkan perlawanan melalui genosida dan penghancuran, tetapi rakyat Gaza tetap berdiri teguh hingga akhir.”
Jurnalis dan editor asosiasi The Electronic Intifada, Nora Barrows, menilai keberhasilan gencatan senjata ini tidak lepas dari keberanian luar biasa pejuang Palestina serta bantuan kemanusiaan dari Lebanon dan Yaman. “Pembebasan Palestina adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Zionisme kini runtuh di bawah bayang-bayangnya sendiri,” tegasnya.
Meski demikian, Rania Khalek, seorang jurnalis lainnya, mengingatkan bahwa kegembiraan ini belumlah akhir dari perjuangan. Ia menyerukan pentingnya menuntut pertanggungjawaban terhadap kekuatan-kekuatan imperialis yang telah menyebabkan kehancuran besar di Gaza.
Angka yang dirilis Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 46.700 korban jiwa, termasuk ribuan anak-anak, sejak serangan Israel yang dimulai pada Oktober 2023. Kehilangan yang begitu besar ini masih membekas di hati banyak keluarga.
Afif Aqrabawi, seorang pengguna X asal Palestina-Kanada, mengatakan bahwa meski momen ini menggembirakan, “kesedihan tetap terasa di udara.” Ia menambahkan, “Lebih dari satu tahun pembantaian—sungai darah, lautan air mata, rumah-rumah yang hancur, dan kehidupan yang tercerai-berai.”
Sementara itu, Leyla Hamed, seorang jurnalis sepak bola asal Palestina, menggambarkan kondisi di Gaza pasca-gencatan senjata. Ia menyebut bahwa banyak warga Palestina akan mengunjungi makam orang-orang tercinta yang tewas tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. “Setiap keluarga di Gaza pernah merasakan kehilangan seorang kerabat,” ujarnya dengan haru.
Gencatan senjata ini adalah momen kemenangan bagi rakyat Gaza, sekaligus pengingat bahwa perjuangan mereka melawan penindasan belum selesai. Kegigihan rakyat Gaza telah menjadi simbol perlawanan yang tidak pernah padam, meski dihadapkan pada tekanan yang begitu berat.
Bersatu untuk Mewujudkan Kejayaan
Perpecahan di antara umat Islam adalah salah satu penyebab utama kelemahan mereka. Allah telah memperingatkan:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan janganlah kamu saling berselisih, yang menyebabkan kegagalan dan hilangnya kekuatanmu.” (QS. Al-Anfal: 46)
Sejarah menjadi saksi bahwa persatuan adalah kunci kemenangan. Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil membebaskan Baitul Maqdis karena menyatukan pasukannya di bawah panji keimanan yang kokoh. Sebaliknya, perpecahan di Andalusia menjadi penyebab jatuhnya wilayah tersebut ke tangan musuh.
Umat Islam harus belajar dari sejarah ini dan menjadikan persatuan sebagai prioritas utama. Semua elemen masyarakat Islam, mulai dari ulama, pemimpin, hingga masyarakat umum, harus mengesampingkan perbedaan demi kepentingan bersama.
Doa
Kemenangan umat Islam hanya dapat diraih melalui keimanan, amal saleh, kesabaran, dan keyakinan kepada Allah juga perjuangan. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memulai perubahan dari dirinya sendiri, lalu meluas ke keluarga, masyarakat, hingga umat secara keseluruhan. Gaza mengingatkan kita, bahwa hidup itu pada hekikatnya adalah perjuangan.
Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat tetap teguh di atas kebenaran.
“Ya Allah, Tuhan malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil, Yang menciptakan langit dan bumi, Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Tunjukkanlah kami kepada kebenaran atas apa yang diperselisihkan, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” Amin.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Referensi:
A. Kitab Tafsir Al-Qur’an
- Tafsir Ibnu Katsir
- Tafsir Al-Qurtubi
- Fi Zilalil Qur’an (Sayyid Qutb)
- Tafsir Jalalain
B. Kitab Hadis
- Shahih Bukhari
- Shahih Muslim
- Sunan Abu Dawud
- Musnad Ahmad
- Riyadhus Shalihin
C. Kitab Sejarah Islam
- Al-Bidayah wan Nihayah (Ibnu Katsir)
- Sirah Nabawiyah (Ibnu Hisyam)
- Tarikh At-Thabari
- Tuhfat Al-Mujahidin
D. Kitab Akhlak dan Suluk
- Ihya Ulumuddin (Imam Al-Ghazali)
- Kitab Al-Adab Al-Mufrad (Imam Bukhari)
- Al-Fatawa Al-Kubra (Ibnu Taimiyah)
- Tazkiyatun Nafs (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
E. Buku Kontemporer
- Ma’alim Fi Ath-Thariq (Sayyid Qutb)
- Fiqh Ad-Daulah (Yusuf Al-Qaradawi)
- Al-Khilafah (Abul A’la Al-Maududi)
- Manhaj Haraki fi Sirah Nabawiyah (Munir Muhammad Al-Ghadhban)