Merupakan perkara yang disepakati oleh para ulama, berbicara tentang urusan yang terkait dengan syariat Islam, maka wajib berlandaskan dalil dan hujjah. Tidak boleh semata bersandar pada akal apalagi hawa nafsu dan kejahilan. Sementara, dalil yang wajib untuk dikedepankan adalah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang Shahih.
Allah Ta’ala berfirman :
الــم {1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ
” Alif laam miim , Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”[1]
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala memberi jaminan keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk Alqur’an:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”.[2]
Maka itu, barometer utama untuk mengukur kebenaran suatu argumen terkait ajaran Islam, baik sifatnya Ushul maupun Furu’ adalah dengan merujuk kepada wahyu Allah Ta’ala, baik Al-Qur’an maupun Hadits-hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Terlebih jika argumen tersebut berkaitan dengan I’tiqod (keyakinan) kepada Allah. Hal ini karena tidak ada yang lebih mengetahui tentang Allah dan syariat-Nya melainkan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Ketahuilah, awal mula penyimpangan kelompok-kelompok sempalan yang menisbatkan diri kepada Islam sepanjang sejarah adalah ketika mereka tidak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai tolak ukur dalam menetapkan perkara-perkara syariat. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِى مُسْتَقِيمًا فَٱتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”.[3]
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam jauh hari telah mengingatkan agar kaum muslimin tidak berpaling dari petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Dan bahwasanya, jaminan keselamatan hanya ada jika kaum muslimin berpegang pada keduanya. Diriwayatkan dari Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدَّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberi kami nasehat yang membuat hati bergetar dan air mata berlinang. Kami pun berkata: “Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, berilah kami wasiat”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin adalah seorang budak. Sungguh, siapa di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan gigi geraham. Dan hendaklah kalian menjauhi perkara yang diada-adakan, karena semua perkara Bid’ah adalah sesat”. [4]
Dimanakah Allah?
Pembahasan terkait sifat Allah merupakan ranah yang sangat terbatas. Sebab ia masuk dalam perkara ghaib, hingga berbicara tentangnya butuh kehati-hatian yang ekstra, di samping keterangan yang jelas dari para ulama Salaf Shalih, generasi terbaik dalam memahami nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [5]
Olehnya, pada kajian mengenai keberadaan Allah ini, kami akan menyebutkan dalil-dalil yang menetapkan di mana Allah Azza wa Jalla. Dalil-dalil yang akan kami sebutkan bisa diklasifikasikan dalam lima bagian.
Pertama: Dalil dari Alqur’an
1). Ayat-ayat yang menyatakan bahwa Allah berada di atas Arsy :
Surat Taha ayat 5:
ٱلرَّحْمَٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.”
Surat Al A’raf ayat 54:
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ يُغْشِى ٱلَّيْلَ ٱلنَّهَارَ يَطْلُبُهُۥ حَثِيثًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ وَٱلنُّجُومَ مُسَخَّرَٰتٍۭ بِأَمْرِهِۦٓ ۗ أَلَا لَهُ ٱلْخَلْقُ وَٱلْأَمْرُ ۗ تَبَارَكَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلْعَٰلَمِين
“ Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
Surat Yunus ayat 3:
إِنَّ رَبَّكُمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ ۖ مَا مِن شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ إِذْنِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمْ فَٱعْبُدُوهُ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.”
Surat Ar Ra’d ayat 2:
ٱللَّهُ ٱلَّذِى رَفَعَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ ٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ ۖ كُلٌّ يَجْرِى لِأَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ يُفَصِّلُ ٱلْءَايَٰتِ لَعَلَّكُم بِلِقَآءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.”
Surat Al-Furqon ayat 59:
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۚ ٱلرَّحْمَٰنُ فَسْـَٔلْ بِهِۦ خَبِيرًا
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.”
Surat As-Sajadah ayat 4:
ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۖ
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. ”
Surat Al-Hadid ayat 4
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۚ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
Ayat-ayat di atas merupakan hujjah para ulama Ahlus Sunnah dalam menetapkan bahwa Allah berada di atas dan mereka menyebutnya sebagai sifat Al-Uluw (Tinggi) bagi Allah Ta’ala. Kata Istiwa bermakna, “irtafa’a wa ‘alaa”, artinya tinggi sebagaimana kata para ulama tafsir seperti Abu Al-Aliyah: “Istawa ilas sama artinya irtafa’ (tinggi) beliau berkata, Imam Mujahid berkata: “Istawa artinya tinggi di atas arsy.” [6]
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah (w.728 H) berkata: “Kitab-kitab tafsir yang meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Sahabatnya, dan para Tabi’in seperti Tafsir Muhammad bin Jarir at Thabari, Tafsir Abdurrahman bin Ibrahim yang dikenal dengan Ibnu Duhaim, Tafsir Abdirrahman bin Abi Hatim, Tafsir Abu Bakr Ibnu Al-Mundzir, Tafsir Abu Bakr Abdul Aziz, Tafsir Abu Syekh Al-Asbahani, dan Tafsir Bakr Ibnu Mardawaih, juga kitab-kitab tafsir sebelumnya, seperti Tafsir Ahmad bin Hanbal, Tafsir Ishaq bin Ibrahim, Tafsir Baqi bin Makhlad, dan yang lainnya, serta Kitab-kitab tafsir sebelum mereka seperti Tafsir Abdun bin Humaid, Tafsir Sunaid, Tafsir Abdurrazzaq, Tafsir Waqi’ bin Al Jarrah, dan selainnya, di dalam kitab-kitab tersebut terdapat penafsiran yang selaras dengan pendapat ulama-ulama yang menetapkan (Istiwa bagi Allah) yang tidak terhitung jumlahnya. Demikian pula kitab-kitab Hadits yang di dalamnya disebutkan atsar-atsar dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, sahabat serta tabi’in”.[7]
2. Ayat-ayat yang menggunakan lafdz Al-‘Aliy Al-A’la atau Maha Tinggi yang menetapkan sifat Al-‘Uluw (Tinggi) yang mutlak dari sisi Dzat-Nya, derajat-Nya, dan kemuliaan-Nya.
Surat Al Baqarah ayat 255:
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ ۖ وَلَا يَـُٔودُهُۥ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ
“ Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Surat Al Hajj ayat 62:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلْبَٰطِلُ وَأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Surat Al-A’la ayat 1:
سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi.”
3. Ayat-ayat yang menetapkan bahwa Allah berada di atas dan hamba-Nya berada di bawah
Surat Al An’am ayat 18:
وَهُوَ ٱلْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِۦ ۚ وَهُوَ ٱلْحَكِيمُ ٱلْخَبِيرُ
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”
Surat An Nahl ayat 50:
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).”
4. Ayat-ayatyang menyatakan naiknya beberapa perkara kepadaNya yang menunjukkan bahwa Allah berada diatas karena kata naik berarti dari bawah keatas.
Surat Fathir ayat 10:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ ٱلْكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلْعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ يَرْفَعُهُۥ
“Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.”
Surat Ali ‘Imran ayat 55:
إِذْ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَىٰٓ إِنِّى مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَىَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ وَجَاعِلُ ٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوكَ فَوْقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِلَىٰ يَوْمِ ٱلْقِيَٰمَةِ ۖ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأَحْكُمُ بَيْنَكُمْ فِيمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku.”
Surat Annisa ayat 158:
بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ إِلَيْهِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا
“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.”
Surat Al Ma’arij Ayat 4:
تَعْرُجُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ إِلَيْهِ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُۥ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“ Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.”
5. Ayat-ayat yang menjelaskan turunnya beberapa perkara dari sisiNya yang menunjukkan bahwa Allah berada diatas karena kata turun berarti dari atas kebawah.
Surat Azzumar ayat 1:
تَنزِيلُ ٱلْكِتَٰبِ مِنَ ٱللَّهِ ٱلْعَزِيزِ ٱلْحَكِيمِ
“Kitab (Al Quran ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Surat Assyu’ara ayat 193:
نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلْأَمِينُ
“ Dia(Al qur’an) dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril),”
Dalil dari As Sunnah
1. Hadits yang menyatakan secara langsung bahwa Allah berada di atas langit.s
ألا تأمنوني وأنا أمين من في السماء
“Mengapa kalian tidak mempercayaiku, sementara aku adalah kepercayaan Allah yang di atas langit”. [8]
2. Hadits yang mengabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan isyarat dengan jari telunjuknya yang mulia mengarah ke langit saat meminta persaksian kepada Allah.
وَأَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّي فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Nabi bersabda: “Dan kalian akan ditanya tentang aku, apa yang akan kalian katakan? Para Sahabat berkata: Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan (amanah), dan menyampaikan nasihat. Maka Nabi mengisyaratkan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit mengetuk-ngetukkannya ke hadapan manusia (dan berkata): Ya Allah persaksikanlah (3 kali)”.[9]
3. Hadits yang menceritakan peristiwa Isra Mi’raj di mana Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah mendapatkan perintah sholat ketika berpapasan dengan Musa kemudian kembali naik menuju Allah untuk meminta keringanan bagi umatnya. Demikian terjadi beberapa kali. [10]
4. Pertanyaan Nabi kepada seorang budak perempuan dengan ungkapan, “Dimana Allah?” dan apresiasi beliau kepada budak itu atas kebenaran jawaban yang disampaikan, dengan meminta kepada tuannya agar memerdekakannyam serta persaksian beliau kepadanya bahwa ia seorang yang beriman.
: فَقَالَ لَهَا: «أَيْنَ اللهُ؟»، قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ: «مَنْ أَنَا؟»، قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ. قَالَ: «أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤمِنَةٌ “
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas langit”. Rasulullah bertanya lagi: “Siapa aku?” Wanita itu menjawab: “Engkau adalah utusan Allah”. Maka Nabi pun bersabda: “Bebaskan dia, karena dia adalah seorang (wanita) beriman”.[11]
Hadits di atas dikenal dengan Hadits Al-Jariyah. Ia termasuk di antara dalil paling kuat dalam menetapkan sifat Al-Uluw bagi Allah, karena diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana seluruh kaum muslimin sepakat, Kitab Shahih-nya merupakan kitab yang paling shahih setelah kitab Shahih Bukhari. Demikian pula dengan matannya yang secara ekspilisit menunjukkan, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menanyakan di mana Allah? Lalu dijawab oleh budak wanita itu dengan jawaban yang dibenarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tidak ada hujjah bagi orang yang mengatakan, hadits tersebut tidak shahih dengan dalih bahwa ia mudtharib ataupun dengan alasan lainnya.
Bahkan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai dalil dalam menetapkan sebuah hukum fiqih sebagaimana dalam kitab Al-Umm dalam pembahasan masalah Hukum Dzhihar [12]. Sebagian ulama menyebutkan, dijadikannya hadits ini oleh Imam Asy-Syafi’i dalam menetapkan sebuah hukum menunjukkan bahwa beliau meyakini seluruh makna yang terkandung di dalamnya, termasuk di antaranya Allah berada di atas langit di atas Arsy-Nya. Tidak mungkin Imam Asy-Syafi’i menshahikan sebuah hadits lalu beliau tidak mengikuti kandungannya. Ini diperkuat oleh riwayat yang beliau sebutkan dalam Musnadnya, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata tentang keutamaan hari jum’at, “dia adalah hari di mana Tuhan kalian bersemayam di atas Arsy-Nya”. [13]
Sebenarnya masih banyak dalil-dalil yang tersebar dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menetapkan bahwa Allah berada di atas langit. Bahkan Imam Ath-Thahawi (w.321 H) mengatakan bahwa jumlah dalil-dalil tersebut bisa mencapai seribu dalil.[14]
Dalil Akal
1. Bahwa sifat Maha Tinggi merupakan Sifat Kemulian
2. Jika sifat Maha Tinggi ini dinafikan maka otomatis yang berlaku sebaliknya, yakni sifat rendah. Dan ini adalah sifat kekurangan yang wajib disucikan dari Allah Ta’ala.
3. Keberadaan Allah Ta’ala tidak terlepas dari enam kemungkinan: Allah berada di atas, atau di bawah, atau di bagian kiri, atau bagian kanan, atau bagian depan, atau bagian bawah. Dan kita dapatkan dari keenam kemungkinan tersebut bahwa Allah berada di atas adalah yang termulia. Dan tidaklah mungkin kita mengatakan Allah tidak berada di mana-mana karena kata tidak berada di mana-mana hanya bisa disandarkan kepada sesuatu yang tidak ada.[15]
Dalil fitrah
Orang berakal, secara fitrah akan mengakui bahwa Allah berada di atas. Hal ini terbukti ketika mereka berdoa kepada Allah, mereka akan menengadahkan kedua tangannya menghadap ke langit. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan. Adapun yang mengatakan bahwa langit adalah kiblat orang berdoa, maka hal tersebut membutuhkan dalil sebagaimana penetapan qiblat shalat berdasarkan dalil. Jika tidak ada dalil, maka akan menjadi perkara bid’ah dalam agama yang tidak ada landasannya dari Al-Qur’an maupun dari Assunnah.[16]
Menanggapi pernyataan “ langit adalah kiblat berdoa” Asy-Syaikh Al-Albani (w. 1420 H) berkata: “Saya tidak mendapatkan sumber atas pernyataan ini, kecuali apa yang disebutkan oleh Al-Hafidz (Ibnu Hajar) dalam kitab Nataij Al-Afkar (vol.1, hal. 259-260), pembahasan adab berdoa: ”Aku berkata: Adapun arah (dalam berdoa), saya belum menemukan landasan jelas yang mengkhususkannya. Ar-Ruyani menukilkan, bahwa seorang yang berdo’a sambil mengangkat pandangannya ke langit, sebagaimana yang kami sebutkan dalam hadits Umar dan hadits Tsauban: “langit adalah kiblat berdoa”, mungkin inilah yang dimaksudkan oleh orang yang memutlakkannya”. Demikianlah pernyataan Al-Hafizh Ibnu Hajar. Sementara hadits Tsauban beliau singgung, tidak ada lafadz yang disebutkan, dan saya tidak menemukannya dalam kitab-kitab hadits yang saya baca”.[17]
Bersambung….
Referensi :
[1] Al-Baqarah : 1-2
[2] Al-Isra’: 9
[3] Al-An’am : 153
[4] HR. Abu Dawud No. 4607 dan At Tirmidzi No. 2676
[5] Surat Al-Isra Ayat 36
[6] Shahih Bukhari, Kitabuttauhid, Bab wakana ‘arsyuhu ‘alalma, Hal.1018, cet. Maktabaturrusyd, Riyadh
[7] Dar’u Ta’arudhil Aqli wannaqli, vol. 2, Hal. 21-22, cet. Idaratutsaqafah Jamiatul Imam, Riyadh
[8] HR. Bukhari No.4351
[9] H.R Muslim, No. 1218
[10] HR.Bukhari, No.3887
[11] H.R Muslim No.537
[12] lihat Al-Umm vol. 6, hal. 707,cet. Darul Wafa, Al Manshurah
[13] Musnad Al Imam Asy-Syafi’i Bab Fadhilati Yaumil Jum’ah, No. 315, cet. Darul Basyair Al Islamiyah, Beirut
[14] lihat Syarh Ath-Thahawiyah : Hal. 220, cet. Al Maktab Al Islami, Mesir
[15] lihat Ash Shawa’iqul Mursalah, vol.4, hal.1308, cet.Darul ‘Ashimah, Riyadh
[16] lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Hal. 224, cet. Al Maktab Al Islami, Mesir
[17] As-Silsilah Adh-Dhaifah, vol. 1, Hal. 443, cet. Maktabah al Ma’arif, Riyadh