Selanjutnya sebagaimana kita ketahui bahwa Imam Syafi’i sebagai Imam besar dalam ilmu Fiqh dan pelopor ilmu Ushul Fiqh juga memberikan perhatian pada masalah Aqidah sebagai pokok dasar agama, dan sampai kepada kita tentang Aqidah beliau dengan jelas seperti diriwayatkan oleh para muridnya.
Apakah seiring pergerakan zaman, Aqidah imam Syafi’i terutama dalam shifat ini terjaga oleh para pelanjutnya yang meriwayatkan mazhab fiqhnya?
Telaah Kritis Deviasi Teologis Ulama Mazhab Syafi’i
Menarik bahwa ada tiga fakta yang perlu diperhatikan. Yang pertama adanya pengakuan ulama Syafi’iyyah Asy’ariyah tentang cara mereka yang baru dalam memahami sifat-sifat Allah. Kedua, dimasukkannya kaidah jahmiyah dalam memahami asma wa shifat. Ketiga perbandingan isi ajaran Imam Syafi’i dan ulama-ulama awal syafi’iyyah dengan Asya’irah.
Pertama, para ulama asy’ariyah syafi’iyyah belakangan sering mengungkapkan, “Mazhab Al-Salaf Aslam, wa Mazhab Al-Khalaf A’lam wa Ahkam.” Mazhab Salaf lebih selamat, namun mazhab khalaf lebih tahu dan lebih baik. (Idhah Al-Dalil Fi Qath’i Hujaj Ahl Al-Ta’thil, Ibnu Jamaah, hal. 92-93 dan Syarah Jauharah Al-Tauhid, Al-Bajuri hal. 91-92)
Anehnya, mereka sering berusaha membuktikan bahwa mazhab mereka sesuai dengan salaf. Tapi dari ungkapan ini, mazhab salaf aslam wa mazhab khalaf a’lam wa ahkam kita faham bahwa mereka punya cara yang berbeda dengan salaf. Menunjukkan adanya cara baru dalam memahami asma’ wa shifat. Bahkan mengklaim bahwa metode mereka lebih cerdas dan lebih baik dari salaf.
Meskipun ungkapan ini berusaha dijelaskan bahwa bukan begitu maksudnya. Al-Bajuri mengatakan, “Mereka tidak faham ungkapan ini, mazhab khalaf a’lam wa ahkam adalah karena adanya tambahan penjelasan dan bantahan untuk ahlul bathil, dan itulah yang lebih rajih. Karena itu, ungkapan ini didahului dengan ungkapan mazhab salaf aslam, karena adanya jalan selamat pada mereka daripada menentukan makna yang mungkin tidak diinginkan oleh Allah.”
Penjelasan inipun sebenarnya juga mengungkapkan perbedaan cara salaf dan khalaf (asy’ariyah) tersebut. Di kalimat terakhir al-Bajuri seakan mengatakan mazhab salaf mengitsbat tanpa takwil, sedangkan mazhab khalaf mentakwil sifat kepada makna yang mungkin tidak diinginkan Allah, sehingga mazhab salaf lebih selamat.
Ungkapan ini sebenarnya juga kontradiksi. Kalau mengatakan mazhab salaf lebih selamat, lalu kenapa cari cara lain? Kenapa tidak sesuai salaf saja? Padahal salaf kan lebih selamat? Atau memang tidak mau selamat?
Kedua, menggunakan metode kalamiyah jahmiyah. Awalnya mereka hanya ingin membantah Jahmiyah dan Mu’tazilah yang menggunakan ilmu kalam dalam mengimani sifat-sifat Allah. Karena perdebatan-perdebatan manthiq dan kalam yang terlalu mengedepankan akal ini. Akhirnya mereka tidak sadar bahwa hal tersebut berpengaruh terhadap keyakinan yang mereka bangun. Terpengaruh dengan metode Jahmiyah dalam mengimani sifat-sifat Allah.
Kaidah Jahmiyah yang mereka pakai adalah Ma La Yakhlu Minal Hawadits Fahuwa Hadits/Segala sesuatu yang tidak terlepas dari hal yang baru muncul maka sesuatu itu pun adalah baru.
Dengan kaidah ini sifat-sifat ikhtiyariyah berusaha dinafikan dengan mengatakan bahwa semuanya azali. Seperti sifat Ridha, Murka, Benci, Cinta, Marah, Berbicara, dan juga Istiwa’. Semua sifat ini dijadikan azaliyah. Sudah muncul sejak dulu. Istiwa’ terjadi sejak zaman azali, bukan setelah penciptaan langit dan bumi. Sangat bertentangan dengan ayat secara sharih. Metode Jahmiyah ini tidak dikenal di kalangan syafi’iyyah hingga mereka yang memasukkannya.
Ketiga, kita lihat perbandingan keyakinan Imam Syafi’i dan Ulama-ulama awal syafi’iyyah dengan keyakinan Asy’ariyah.
Imam Syafi’i (w. 204 H) beserta para ashab, murid-murid dan generasi berikutnya berjalan sesuai dengan mazhab salaf para pendahulu mereka. Imam Syafi’i mengatakan, “Pendapat tentang sunnah yang saya pegangi dan yang saya lihat dari ashab kami para ahli hadis dan saya mengambil dari mereka seperti Sufyan bin Uyainah dan Malik, dan selain keduanya.” (I’tiqad Al-Imam Al-Syafi’i, Al-Hakkari, hal. 17-18)
Begitupun dengan murid-murid terdekat dengan Imam Syafi’i. Abu Bakar Al-Humaidi (w. 216 H) menyusun risalah ringkas “Ushul Al-Sunnah.” Beliau menjelaskan akidah yang benar pada masalah-masalah akidah yang mengemuka pada waktu. Ismail bin Yahya Al-Muzani (w. 264 H) menyusun risalah “Syarh Al-Sunnah,” beliau menyebutkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah di antaranya shifat Al-‘Uluw Al-Dzatiyyah. Beliau mengatakan, “Ini adalah keyakinan dan juga perbuatan yang disepakati oleh para pendahulu generasi awal para imam pemberi petunjuk. Dengan taufik dari Allah para tabi’in memegang dengan baik dan menjadi teladan. Mereka jauhi takalluf, akhirnya mereka diberi taufik dan petunjuk dengan inayah dari Allah. Dan kami tsiqah terhadap Allah bertawakkal pada-Nya dalam mengikuti atsar dari mereka.”
Begitu juga dengan Abu Ya’qub Al-Buwaithi enggan mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk sehingga beliau meninggal dalam penjara pada tahun 231 H. Juga dengan Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi (w. 270 H) sangat keras terhadap ahli kalam, seperti gurunya Imam Syafi’i, perkataannya dinukil oleh Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahl Al-Sunnah. Mereka berempat ini merupakan murid-murid terdekat Imam Syafi’i.
Dari jalur murid Imam Syafii’i, Ismail bin Yahya Al-Muzani memiliki murid-murid yang berpegang teguh dengan mazhab salaf. Seperti Muhammad bin Nashr Al-Marwazi (w. 294 H), Zakariya bin Yahya Al-Saji (w. 307 H), Abu Bakar bin Khuzaimah (w. 311 H). Ibnu Khuzaimah punya murid Abu Bakar Al-Isma’ili (w. 371 H). Al-Marwazi, Ibnu Khuzaimah dan Abu Bakar Al-Isma’ili punya kitab aqidah yang sangat masyhur. Al-Saji juga memiliki keyakinan yang dinukil oleh Al-Dzahabi dalam kitabnya Al-‘Uluw Lil ‘Aliy Al-Ghaffar.
Dari jalur murid Imam Syafi’i, Abu Bakar Al-Humaidi juga memiliki murid-murid yang terkenal dengan akidah mazhab salaf. Seperti Abu Hatim Al-Razi (w. 277 H), Abu Zur’ah Al-Razi (w. 264 H), mereka juga murid Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi. I’tiqad mereka berdua diriwayatkan oleh Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahl Al-Sunnah. Berikutnya kita bandingkan satu persatu keyakinan mereka dengan Asy’ariyah.
Sifat Al-‘Uluw dan Istiwa’
Imam Syafi’i menafsirkan firman Allah, , “Kemudian makna firman-Nya dalam Al-Qur’an, “Yang di langit,” maksdunya adalah siapa yang berada di atas langit di atas ‘arsy sebagaimana firman-Nya, Ar-Rahman Ala Al-‘Arsy Istawa, setiap yang di atas maka itu adalah langit, dan ‘arsy adalah langit tertinggi, maka Allah berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Allah firmankan tanpa kaif (membicarakan kaifiyahnya), terpisah dari makhluk-Nya tanpa bersentuhan dengan makhluk-Nya, laisa kamitslihi syai’un wahuwas sami’ al bashir.” (Tafsir Imam Syafi’i, Dr. Ahmad Musthafa Al-Farran, hal. 1063, Al-Baihaqi, Manaqib Al-Syafi’i, Juz 1, hal. 397-398)
“Dan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan makhluk-Nya bagaimanapun Ia kehendaki. Dan turun ke langit dunia bagaimanapun Ia kehendaki.” (Disebutkan oleh Ibnu Qayyim dalam Ijtima’ Al-Juyusy melalui riwayat Ibnu Abi Hatim dari Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i)
Imam Syafi’i berdalil dengan riwayat Mu’awiyah bin Al-Hakam tentang seorang budak wanita yang ditanya oleh Nabi, dimana Allah, dan ia menjawab di langit. Lalu Rasulullah perintahkan untuk memerdekakannya karena ia Mukminah. Rasulullah menetapkan keimanannya ketika meyakini bahwa Rabbnya di langit dan mengenal Rabbnya dengan sifat Al-‘Uluw wa Al-Fauqiyyah.(Al-Umm, Jilid 5, hal. 280, Manaqib Al-Syafi’i , Al-Baihaqi, Jilid 1, hal. 394-398)
Al-Muzani dalam Syarh Al-Sunnah mengatakan, “Dia tinggi di atas ‘Arsy-Nya, dan Ia di bawah dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala hal.” (hal. 79)
Ibnu Khuzaimah mengatakan, “Bahwa Khaliq kita istiwa di atas ‘Arsy-Nya. Kita tidak merubah perkataan Allah dengan mengatakan perkataan yang tidak dikatakan pada kita seperti yang dikatakan oleh Mu’aththilah Jahmiyah, bahwa Ia Istaula (menguasai) ‘Arsy-Nya, bukan Istawa. Mereka merubah perkataan dengan mengatakan yang tidak dikatakan kepada mereka seperti perbuatan orang Yahudi ketika disuruh mengucapkan Hiththah lalu mereka mengatakan Hinthah, mereka selisihi perintah Allah, begitupun Jahmiyah.” (Kitab Al-Tahuid, Ibnu Khuzaimah)
Abu Bakar Al-Isma’ili mengatakan, “Dan bahwa Allah istiwa di atas ‘Arsy tanpa kaif, karena Allah berhenti pada firman-Nya, Istawa’ Alal ‘Arsy dan Allah tidak sebutkan bagaimana istiwa’-Nya. (I’tiqad Ahl Al-Sunnah, Abu Bakar Al-Isma’ili, hal. 36)
Kemudian kita bandingkan dengan keyakinan Asy’ariyah.
Abdullah bin Said bin Kullab mengatakan tentang sifat Istiwa’ bahwa ia adalah suatu perbuatan yang Allah ciptakan di ‘Arsy yang Ia beri nama Istiwa’, dan bukan Istiwa dengan Dzat-Nya. (Syarah Hadis Nuzul, Ibnu Taimiyah, hal. 47) begitupun dengan Abul Hasan Al-Asy’ari bahwa istiwa’-Nya tanpa Istiqrar/menetap, namun istiwa’ dengan makna Allah menciptakan di ‘Arsy perbuatan yang Ia beri nama Istiwa’. (Al-Ibanah ‘An Ushul Al-Diyanah, hal. 87)
Ibnu Furok dalam Musykil Al-Hadits Bayanuhu mengatakan, “Adapun firman Allah, “Aamintum man fis sama’.” Maknanya adalah di atas langit bukan dengan makna fauqiyah (tinggi) yang menempati sebuah tempat. Karena itu adalah sifat jism yang terbatas yang baru. Namun dengan makna yang disifati dengan-Nya bahwa Ia di atas dengan arti kedudukan, manzilah, keagungan dan qudrah.” (hal. 392)
Dalam kitab yang sama Ibnu Furok mengatakan, “Istiwa’-Nya di atas ‘Arsy bukan berarti menetap, tapi dengan makna ketinggian karena telah menguasai dan mengatur, dan juga ketinggian derajat. Dengan sifat yang berbeda dengan makhluk-Nya.” (hal. 389)
Al-Baghdadi mengatakan, “Yang shahih menurut kami adalah menakwil ‘arsy dalam ayat ini dengan makna kerajaan. Seakan Ia menginginkan istiwa dengan makna kerajaan, dimana yang satu menguasai yang lainnya.” (Ushuluddin, Al-Baghdadi, hal. 113)
Al-Ghazali mengatakan, “Allah istiwa di atas ‘Arsy dengan makna yang diinginkan-Nya yakni yang tidak meniadakan sifat kibriya’ dan tidak dimasuki hal-hal yang berkaitan dengan huduts (baru) ataupun fana’ (hancur), dan tidak ada maknanya melainkan dengan jalan menguasai (Istila’).” (Al-Ghazali, Qawaid Al-‘Aqaid, hal. 165-167)
Ulama Asy’airah menafikan sifat Istiwa’ dengan mengatakan, “Allah ada sebelum menciptakan waktu dan tempat, dan keadaan-Nya sekarang sebagaimana sebelumnya.” (Al-Ghazali, Qawaid Al-‘Aqaid, hal 53. Al-‘Aqaid Al-‘Izz bin Abdus Salam, hal. 7, Idhah Al-Dalil fi Qath’i Hujaj Ahl Al-Ta’thil, hal. 103-104) jadi kemana makna istiwa dalam banyak ayat setelah menciptakan langit dan bumi, tsumma istwa ‘alal ‘arsy.
Dari sini dengan jelas kita melihat perbedaan keyakinan Imam Syafi’i dengan para pendahulu Syafi’iyyah mengenai sifat Al-‘Uluw dan Istiwa’. Bahkan dalam menjelaskan sifat ini mereka pun berbeda-beda, pendahulunya Ibnu Kullab dan Al-‘Asy’ari mentafwidh dengan mengosongkan maknanya. Ibnu Furok mengatakan ketinggian derajat. Al-Baghdadi mentakwilnya dengan kerajaan. Al-Ghzali mengatakan istila’/menguasai. Dan banyak yang menafikan sifat istiwa’ dengan mengatakan bahwa setelah menciptakan ‘arsy keadaan-Nya sama dengan sebelumnya.
Sifat Nuzul
Dalam hadis disebutkan secara jelas bahwa Allah turun ke langit dunia di setiap malam di sepertiga akhir malam. Imam Syafi’i mengatakan, “Wa annahu yahbithu kulla lailatin ila sama’ ad dunya.” (Aqidah Imam Syafi’i riwayat Al-Hakkari), beliau menggunakan kalimat yahbithu sebagai padanan dari kata yanzilu. Ingin menunjukkan bahwa turun yang dimaksud adalah benar-benar turun. Bukan dengan makna lain. Atau bukan dengan mengosongkan maknanya (ta’thil ma’na).
Ibnu Khuzaimah mengatakan, “Kami bersaksi dengan kesaksian dengan hati dan lisan, yakin dengan riwayat-riwayat tentang turun-Nya Al-Rabb. Tanpa menggambarkan kaifiyah-Nya karena Nabi kita kita tidak menggambarkan kaifiyahnya nuzulnya Khaliq kita ke langit dunia, namun beliau mengabarkan kepada kita bahwa Ia turun. Kami membenarkan riwayat-riwayat ini dengan menyebutkan nuzul tanpa membebani diri mencari gambaran sifat-Nya seperti apa.” (Kitab Al-Tauhid, jilid 1, hal 289-290)
Abu Bakar Al-Isma’ili mengatakan, “Dan bahwa Ia azza wa jalla turun ke langit berdasarkan riwayat yang shahih dari Rasulullah tanpa meyakini kaifiyah pada-Nya. (I’tiqad Ahl Al-Sunnah, Abu Bakar Al-Isma’ili, hal. 42)
Kita bandingkan keyakinan ini dengan melihat keyakinan Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asy’ari mengatakan tentang sifat nuzul, “Turun-Nya bukan dengan berpindah.” (Risalah Ila Ahl Al-Tsagr, hal. 229) Al-Baihaqi menjelaskan maksud dari Abul Hasan dengan mengatakan, “Demikian pula terkait riwayat-riwayat tentang nuzul, bahwa yang dimaksud adalah sebuah perbuatan yang Allah adakan di langit dunia setiap malam yang Allah beri nama Nuzul, namun tanpa gerak dan tanpa berpindah.” (Al-Asma’ wa Al-Shifat, Al-Baihaqi, hal. 564)
Ibnu Furok mengatakan, “Maknanya adalah Allah menampakkan rahmat-Nya pada mereka untuk menjawab doa mereka, dan mungkin juga bisa dikatakan yang turun adalah malaikat-Nya membawa amar-Nya. Diidhafahkan pada-Nya nuzul karena amar-Nya yang dibawa oleh malaikat.” (Musykil Al-Hadits wa Bayanuhu, Ibnu Furok, hal. 472)
Imam Syafi’i menafsirkan an-nuzul dengan al-hubuth. Sedangkan Al-Asy’ari berusaha mengosongkan maknanya (ta’thil ma’na) dengan mentafwidh, lalu menambah penjelasan dengan ungkapan, “tanpa bergerak dan tanpa pindah.” Padahal mengatakan seperti ini butuh dalil, karena ia sudah masuk ke ranah kaifiyah. Dimana Allah mengatakan laisa kamitslihi syai’un. Mengatakan bahwa turun-Nya Allah tanpa gerak, ini sudah memastikan bahwa kaifiyah tersebut (dengan tidak bergerak dan tidak pindah) bukan cara turun-Nya Allah. Ini sudah berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Ibnu Furok mentakwilnya dengan rahmat-Nya yang turun atau malaikat-Nya. Sehingga menjadi jelas perbedaan keyakinan asy’ariyah dengan Imam Syafi’i. Bahkan menjelaskan satu sifat nuzul saja di antara mereka ada perbedaan. Beginilah jika akal sudah sangat dikedepankan dalam membahas akidah. Jika diserahkan pada akal manusia, maka masing-masing akal akan keluar dengan pemikiran yang berbeda-beda.
Begini juga dengan sifat-sifat Allah yang lainnya. sangat nampak perbedaan tersebut. Namun dua sifat ini sudah cukup mewakili perbedaan pandangan dua madrasah. Madrasah Salaf yang diwakili oleh Imam Syafi’i sendiri dengan para ulama awal syafi’iyyah dengan Madrasah Asy’ariyah Syafi’iyyah.
Pada intinya mereka ingin menafikan sifat-sifat tersebut dari Allah Azza wa Jalla.
Bahwa Allah tidak istiwa’ dengan makna Allah di atas ‘Arsy. Sehingga bukan Dzat Allah yang tinggi, tapi terbatas maknanya kedudukan dan derajat-Nya yang maha tinggi.
Allah tidak turun ke langit dunia. Karena yang turun malaikat-Nya atau rahmat-Nya.
Allah tidak datang (al-maji’ wal ityan) pada hari kiamat tapi yang datang adalah perkara-Nya.
Allah tidak memiliki wajah, tapi kekuasaan. Allah tidak memiliki tangan, tapi qudrah. Allah tidak marah dan murka, tapi iradah-Nya untuk mengazab.
Allah tidak mencintai, tapi iradah-Nya untuk memberikan nikmat dan pahala. Dan seterusnya. Sehingga semua yang disebutkan Al-Quran dan Hadis tentang sifat-sifat-Nya ditolak dan dinafikan substansinya, dita’thil maknanya dengan ditafwidh dan ditakwil ke makna yang lain.
Sangat jauh dari akidah dan keyakinan Imam Syafi’i rahimahullah dan mazhab salaf dalam masalah Shifat.
Berikutnya kita akan sebutkan infiltrasi berbagai ajaran dan faham ke dalam Mazhab Asy’ariyah dari masa ke masa.
Bersambung…
Tim Alinshof